Sabtu, 15 Desember 2012

Cak Nun & Kiai Kanjeng


Malam tadi aku berkesempatan menghadiri saresehan budaya di Wisma Kagama UGM. Pembicaranya adalah seorang nyleneh yang tidak menamatkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi UGM. Dia adalah Emha Ainun Nadjib atau lebih popular dengan nama artis Cak Nun. Ia datang bersama kawan akrabnya, Kiai Kanjeng, yaitu sebuah group musik dengan aliran yang nyleneh pula. Malam tadi mereka membawakan sebuah lagu yang tidak jelas genrenya, musiknya bernada salsa sementara lagu yang dibawakan adalah sholawat. Bagi orang awam seperti diriku tentunya belum bisa menikmati jenis musik semacam itu, namun aku bisa mengambil sisi positifnya, dengan aransemen seperti itu aku melihat lagu sholawat yang selama ini hanya popular di desa-desa dan umumnya hanya di apresiasi oleh orang-orang kampung, kini mulai terangkat derajatnya. Ya, minimal bisa didendangkan di kampus yang katanya sudah mulai komersil ini. Bisa saja semalam para mahasiswa dan beberapa bule yang mengikuti nyanyian lagu sholawat dengan gagap itu belum pernah menyanyikannya atau malah belum tahu ada lagu semacam itu. Dan dengan sajian lagu sholawat semacam itu pula Cak Nun dan Kiai Kanjeng telah melanglang buana ke daratan Eropa.
Kembali ke Cak Nun, dia adalah sosok nyleneh macam Presiden Gus Dur, bedanya dia kalah tenar dari Gus Dur. Mungkin karena dia tidak presiden ya, hahaha…, karena orangnya nyleneh maka yang menghadiri acaranya pun banyak yang nyleneh. Ada kaum santri yang memakai atribut kesantriannya seperti sarung, baju koko, kopiah yang pucuknya seolah ingin menyaingi kubah masjid Istiqlal, juga sorban yang semakin menegaskan identitasnya. Ada pula yang memakai jaket dan celana pendek, seperti ingin menyampaikan bahwa ia baru saja kehujanan. Ada juga yang berpenampilan khas anak muda malam mingguan dengan membawa pacarnya, entah kesasar atau memilih hiburan alternatif yang edukatif, atau memang tidak punya uang untuk mentraktir pacar di restoran cepat saji. Entahlah, yang pasti tujuan mereka adalah untuk meregangkan otot-otot yang selama seminggu telah mereka perbudak untuk bekerja ataupun mengerjakan tugas-tugas kuliah. Mereka semua bersiapa tertawa terbahak-bahak mendengarkan stand-up comedy yang dibawakan oleh orang yang dianggap kyai ini.
Bukan Cak Nun namanya bila tidak menghakimi seseorang di muka umum. Seperti salah seorang narasumber yang pada malam itu menjelaskan tentang pengertian santri secara sepanjang lebar hingga menjelaskan posisi santri dalam kedudukannnya sebagai warga NKRI. Kami semua seperti nampak memperhatikan uraian dari narasumber tersebut, namun dalam hati kecil kami sebenarnya sedang menunggu-nunggu apa dan bagaimana tanggapan dari Cak Nun. Maka moment yang paling ditunggu-tunggu pun tiba, usai narasumber tersebut memberikan paparan panjang lebar mengenai santri, Cak Nun mulai melancarkan aksinya sebagai ahli budaya, bukan menambahi atau memberi applause atas materi yang dijelaskan narasumber, ia justru memberikan pertanyaan nyleneh kepada narasumber itu.
“begini mas, anda tidak usah jauh-jauh membahas santri hingga menghubungkannya dengan NKRI.” Ucap Cak Nun mengawali pembicaraannya.
“enggak usah jauh-jauh dulu, sekarang saya tanya, si mbah Hasyim Asy’ari itu lahirnya dimana?
“emm, di Jombang, Cak” jawab sang narasumber.
“di Jombang? tenan orak hayoo?” sahut Cak Nun diringi suara tawa membahana para penonton.
“yakin, cak” jawab narasumber penuh keyakinan dengan sorot mata penuh keraguan.
“salah itu” jawab Cak Nun agak serius. “mbah Hasyim Asy’ari itu seorang imigran dari Demak, dia lahir di Tambakberas sana, pindah ke Jombang karena Demak dinilai sudah tidak kondusif lagi.” Jadi kalau kita membicarakan konteks lahirnya, mbah Hasyim Asy’ari  adalah seorang yang lahir di demak, namun jika kita membicarakan kiprahnya, dia berkiprah dan tersohor di Jombang.” gitu lho, dek” sahut Cak Nun sambil melihat narasumber yang masih berstatus mahasiswa.
“inilah kesalahan bangsa kita” lanjut Cak Nun. “Bangsa kita ini selalu lupa dengan sejarahnya, sehingga bagaimana memahami berbagai persoalan bidang keilmuan jika kita tidak tau sejarahnya.”
“sekarang kita ambil contoh peristiwa pelemparan gedung demokrat dengan batu oleh beberapa pemuda organisasi yang berafiliasi dengan NU di Jawa Timur.” Mereka marah atas ucapan Shoetan Batugana (politisi partai demokrat) yang dianggap merendah kan Gus Dur.” Jika mereka ingin membersihkan nama Gus Dur, para pemuda itu harusnya menelusuri Gus Dur, bagaimanakah sepak terjangnya selama menjadi presiden, buatlah sebuah penelitian yang menceritakan kiprah Gus Dur selama memimpin NKRI.” Itulah gunanya sejarah. Ucap  Cak Nun
Diskusi malam itu berlangsung gayeng, beberapa orang penanya justru balik ditanya oleh Cak Nun, kelimpungan… itulah tingkah para penanya yang dibuat malu di depan umum. Namun banyak hal positif yang dapat mereka ambil selain kelimpungan dan kebingungan. Mereka harusnya bangga mendapat pelajaran yang berharga dari penjelasan Cak Nun. Karena bertanya itu menandakan “kebodohan,” sementara selalu bodoh itu adalah hal yang baik, karena pastinya kita akan selalu belajar dan belajar untuk lebih pandai. Sedangkan orang yang tidak pernah bertanya berarti ia merasa sudah pintar, dan merasa selalu pintar adalah hal yang tidak baik karena berarti ia selalu berpuas diri dari apa-apa yang sudah didapatinya. Bahkan dia pun tidak tahu kalau sedang dibodohi Cak Nun.
Malam minggu itu berlalu begitu cepat, ceramah Cak Nun yang diiringi dengan alunan musik yang dibawakan Kiai Kanjeng seperti lorong waktu yang membawa kita ke masa lalu dan dengan sesegera mungkin melesatkan kita ke masa depan. Terus seperti itu hingga kita merasakan pandangan yang begitu terang dari kehidupan kita yang selalu berjalan stagnan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar