Setiap event lima
tahunan tiba (baca: Pemilu), dalam benak kita mungkin selalu terbayang
dimanakah posisi dan peran mahasiswa yang katanya mengaku-ngaku sebagai agen
perubahan. Dalam diskusi-diskusi kecil di warung-warung kopi, konsep golput
(golongan putih) tentunya menjadi tema menarik yang dapat merangsang
saraf-saraf di mulut si pro dan si kontra. Di satu pihak, memilih wakil rakyat
merupakan sebuah pilihan dan konsekuensi konstitusi yang diamanatkan
undang-undang. Di pihak seberang, nada sinis dan apatis akan kiprah eksekutif,
terutama legislatif selalu menjadi dogma bagi keyakinan mereka. Ya, silahkan
datang ke TPS, tapi rusak surat suara itu agar tidak dimanfaatkan oleh
pihak-pihak tertentu. Langkah diplomatis?
Terkadang pembahasan tak melulu soal golput. Untuk pemilu
kali ini, rasanya membahas dan mengonsep berbagai teori tentang Capres dan
Cawapres Partai A, B, maupun C menjadi hal yang lebih menarik untuk dikupas
ketimbang memperdebatkan suatu hal yang klise. Belum usai kekagetan kita akan
aksi Wiranto-Hari Tanoe yang kelewat pagi mengikrarkan pencapresan dan
pencawapresan dirinya, mahasiswa kembali diuji sikapnya ketika Raja Dangdut,
Rhoma Irama berniat maju sebagai Calon RI 1. Sementara, dibeberapa titik di
Kota Yogyakarta marak dengan foto-foto berslogan “piye kabare, bro? penak jamanku tho?,” Prabowo dan Abu Rizal Bakrie
masih sibuk mencari “pendamping” untuk kawan tinggal di Istana. Jangan lupakan
juga peluang capres tradisional seperti Megawati dan Jusuf Kalla. Juga sosok
Mahfud MD yang bekas institusinya bekerja terancam dibubarkan Rhoma Irama (jika
jadi presiden). Hingar-bingar konvensi Partai Demokrat pun nampak sunyi
ditengah gencar-gencarnya kampanye yang dilancarkan para peserta konvensinya.
Mahasiswa belum tentu menjagokan Jokowi!
Mahasiswa di larang berpolitik praktis. Apa maksudnya?.
Mungkin kita bisa tahu jawaban itu dari berbagai referensi yang menyebut
program Normalisasi Kehidupan Kampus periode 1970-an (NKK) ala Soeharto. Lalu
bagaimana dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan ekstra kampus yang menjadi
onderbouw bagi partai-partai politik?
Ya, tidak mengapa. Toh, mereka masih terlihat kritis di hadapan masyarakat
dengan aksi-aksi demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang tidak
pro-rakyat. Di sisi lain, kiprah mereka di organisasi-organisasi seperti PMII,
HMI, IMM, GMNI, dll, tentunya membuka jalan bagi mereka di masa depan untuk
tampil di pentas politik nasional, “iya
kan Cak Imin, Mas Anas, Pak Sa’an, Prof. Mahfud.” Bukankah manusia adalah
makhluk politik (zoon politicon)!
Sementara, mahasiswa terus bergulat dan beradu pendapat
mengenai eskalasi kepentingan yang selalu mencuat menjelang pemilihan umum,
masyarakat awam masih menjadi katak dalam tempurung yang buta akan kapasitas
dan kapabilitas calon wakilnya di legislatif yang akan ditusuknya pada 9 April
nanti. Lalu, bagaimana dengan beberapa program peduli pemilu yang dilancarkan
oleh sejumlah universitas seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pendidikan dan
Pemantauan Pemilu?. Masyarakat masih belum bisa membedakan mana calon pemimpin
yang berkelakuan hewan dan yang tenanan (beneran)!