Selasa, 11 Maret 2014

Mahasiswa dan Pesta Demokrasi

            Setiap event lima tahunan tiba (baca: Pemilu), dalam benak kita mungkin selalu terbayang dimanakah posisi dan peran mahasiswa yang katanya mengaku-ngaku sebagai agen perubahan. Dalam diskusi-diskusi kecil di warung-warung kopi, konsep golput (golongan putih) tentunya menjadi tema menarik yang dapat merangsang saraf-saraf di mulut si pro dan si kontra. Di satu pihak, memilih wakil rakyat merupakan sebuah pilihan dan konsekuensi konstitusi yang diamanatkan undang-undang. Di pihak seberang, nada sinis dan apatis akan kiprah eksekutif, terutama legislatif selalu menjadi dogma bagi keyakinan mereka. Ya, silahkan datang ke TPS, tapi rusak surat suara itu agar tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Langkah diplomatis?
            Terkadang pembahasan tak melulu soal golput. Untuk pemilu kali ini, rasanya membahas dan mengonsep berbagai teori tentang Capres dan Cawapres Partai A, B, maupun C menjadi hal yang lebih menarik untuk dikupas ketimbang memperdebatkan suatu hal yang klise. Belum usai kekagetan kita akan aksi Wiranto-Hari Tanoe yang kelewat pagi mengikrarkan pencapresan dan pencawapresan dirinya, mahasiswa kembali diuji sikapnya ketika Raja Dangdut, Rhoma Irama berniat maju sebagai Calon RI 1. Sementara, dibeberapa titik di Kota Yogyakarta marak dengan foto-foto berslogan “piye kabare, bro? penak jamanku tho?,” Prabowo dan Abu Rizal Bakrie masih sibuk mencari “pendamping” untuk kawan tinggal di Istana. Jangan lupakan juga peluang capres tradisional seperti Megawati dan Jusuf Kalla. Juga sosok Mahfud MD yang bekas institusinya bekerja terancam dibubarkan Rhoma Irama (jika jadi presiden). Hingar-bingar konvensi Partai Demokrat pun nampak sunyi ditengah gencar-gencarnya kampanye yang dilancarkan para peserta konvensinya. Mahasiswa belum tentu menjagokan Jokowi!
            Mahasiswa di larang berpolitik praktis. Apa maksudnya?. Mungkin kita bisa tahu jawaban itu dari berbagai referensi yang menyebut program Normalisasi Kehidupan Kampus periode 1970-an (NKK) ala Soeharto. Lalu bagaimana dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan ekstra kampus yang menjadi onderbouw bagi partai-partai politik? Ya, tidak mengapa. Toh, mereka masih terlihat kritis di hadapan masyarakat dengan aksi-aksi demonstrasi menentang kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Di sisi lain, kiprah mereka di organisasi-organisasi seperti PMII, HMI, IMM, GMNI, dll, tentunya membuka jalan bagi mereka di masa depan untuk tampil di pentas politik nasional, “iya kan Cak Imin, Mas Anas, Pak Sa’an, Prof. Mahfud.” Bukankah manusia adalah makhluk politik (zoon politicon)!

            Sementara, mahasiswa terus bergulat dan beradu pendapat mengenai eskalasi kepentingan yang selalu mencuat menjelang pemilihan umum, masyarakat awam masih menjadi katak dalam tempurung yang buta akan kapasitas dan kapabilitas calon wakilnya di legislatif yang akan ditusuknya pada 9 April nanti. Lalu, bagaimana dengan beberapa program peduli pemilu yang dilancarkan oleh sejumlah universitas seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Pendidikan dan Pemantauan Pemilu?. Masyarakat masih belum bisa membedakan mana calon pemimpin yang berkelakuan hewan dan yang tenanan (beneran)!