Mayoritas
pecinta sepak bola dunia sampai detik ini mungkin masih belum percaya dengan skor
destruktif yang dibukukan Timnas Spanyol kala dipecundangi Timnas Belanda 1-5.
Di laga pembuka grup b yang dihelat sabtu pagi tersebut, Timnas Belanda yang
berada di bawah komando Louis van Gaal telah menciptakan sebuah antitesis yang
benar-benar menghancurkan ramalan para pengamat sepak bola dan bursa taruhan. Sang
juara bertahan kini benar-benar dipermalukan oleh tim yang dipecundanginya
empat tahun silam di laga pamungkas World Cup 2010. Sementara sang pemenang
menolak status laga revans, berbagai pihak masih berpatokan pada mitos
kecenderungan penurunan performa Timnas Belanda menjelang berakhirnya turnamen
dan peningkatan performa Timnas Spanyol yang selalu diawali kekalahan di laga
pembuka.
Lalu apa sebenarnya penyebab tragedi
tersebut? Kecerdasan van Gaal dalam meramu strategi atau kenaifan seorang
Vicente del Bosque dengan platform tiki-takanya. Banyak spekulasi bermunculan,
namun yang pasti perjudian van Gaal terhadap pemain muda Belanda menjadi kartu
as yang mengalahkan perjudian del Bosque terhadap “anak-anak” la masia plus
Diego Costa. Daley Blind, Daryl Janmaat, Bruno Martins, dan Jermain Lens
nyatanya menampilkan performa lebih baik ketimbang Xavi, Iniesta, Pique, dan santo Iker. Duo Robben-Persie pun lebih
bersinar daripada individualisme Diego Costa yang hanya menghasilkan skor penalti
plus cercaan dari masyarakat Brazil di sepanjang laga.
Sebelumnya Spanyol belum pernah
menerima penghinaan sebesar ini sejak Skotlandia membombardir la furia roja 6-2 di ajang internasional
tahun 1963. Selain itu, Spanyol juga pernah dipermalukan Brazil 4-0 pada
pagelaran Piala Konfederasi tahun lalu. Fakta menarik lainnya adalah gol-gol
yang dilesakkan van Persie dkk ke gawang Casillas lebih banyak tiga gol dari
rekor kebobolan Timnas Spanyol disepanjang turnamen Piala Dunia 2010 lalu. Sementara
itu, satu-satunya gol Spanyol yang dicetak dari titik penalti oleh Xabi Alonso pada
laga itu merupakan gol penalti pertama Spanyol di Piala Dunia sejak David Villa
melakukannya pada Juni 2006 ketika bersua Prancis.
Bagus buruknya performa Spanyol di
sembarang turnamen tampaknya bisa dilihat dari rekam jejak Barcelona di
kompetisi domestik maupun Eropa. Maklum saja, sebagian besar amunisi Timnas
Spanyol disesaki oleh para punggawa blaugrana
yang dianggap sudah jadi dengan permainan tiki-takanya. Barcelona dianggap
sebagai tim yang mengadopsi gaya permainan total football milik Belanda, dengan
pasing-pasing pendek nan cepat serta pergerakan pemain yang tidak terduga nan
mematikan, nama Barcelona mulai melegenda. Adalah Johan Cruyff “putra” sang
Rinus Michels yang membawa virus tersebut ke tubuh Barcelona ketika menjadi
pelatih pada kurun 1988-1996, dengan gaya bermain seperti itu Johan Cruyff
berhasil membawa Barcelona meraih supremasi tertinggi ajang kompetisi klub
Eropa (Liga Champions) untuk pertama kalinya pada tahun 1992. Gaya tiki-taka
terus dikembangkan oleh Barcelona dengan memanfaatkan dutch connection sebagai pemilik sah gaya permainan tersebut. Louis
van Gaal (1997-2000 dan 2000-2003) dan Frank Rijkaard (2003-2008) adalah dua
nama Belanda terakhir yang mengentalkan gaya total footbal Barcelona, sebelum
mereka menyerahkannya ke putra Catalan asli, Pep Guardiola (2008-2012).
Berpuluh tahun lamanya gaya “total
football” Barcelona mendominasi dan menjadi favorit bagi kalangan pecinta sepak
bola dunia sampai akhirnya the special
one, Jose Mourinho menemukan formula untuk mengganyang permainan sepak bola
indah tersebut. Mourinho menamakannya taktik “parkir bus” bahkan “parkir
pesawat”, sejak kemunculannya pada 2010 lalu ketika Mourinho menukangi
Internazionale Milano, hingga saat ini teori itu begitu populer dan banyak
diadopsi klub-klub besar Eropa ketika mereka bersua Barcelona.
Kegagalan Tiki-Taka dan Kejeniusan van Gaal
Sejak Luiz
Aragonez membawa Spanyol merengkuh gelar kedua Piala Eropa pada 2008 silam
hingga del Bosque mempersembahkan trophy Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012,
Spanyol masih bermain dengan cara yang sama, tiki-taka atau tidak sama sekali.
Kedua pelatih itu seperti tidak melakukan perubahan apa-apa dalam hal taktikal
karena komposisi Timnas Spanyol hampir separuh lebih diisi oleh anak-anak Barcelona.
Seiring berjalannya waktu, tiki-taka yang menjadi madzhab permainan Barcelona
pun perlahan mulai merapuh. Bahkan, tak perlu strategi rendahan semacam “parkir
bus” untuk menaklukan Barcelona, dengan permainan keras dan rapat pun Barcelona
dapat ditaklukan sesukanya seperti yang sudah dilakukan Atletico Madrid dan
Bayern Munchen.
Musim ini Barcelona mencapai titik
nadir dengan ketidakmampuan memenangkan satu pun trophy mayor. Hal itu tentunya
berdampak ke Timnas Spanyol arahan del Bosque. Meski demikian, del Bosque masih
percaya “magis” tiki-taka dengan memasukkan para pemain yang sedang kehilangan
musimnya semacam Pique, Alba, Busquets, Xavi, maupun Iniesta ke dalam starting
eleven, dan mengabaikan bakat Koke, Isco, ataupun Illaramendi yang sedang
mengalami musim bagus bersama klubnya masing-masing. Hingga tiba saatnya laga
pembuka Piala Dunia 2014 melawan Belanda, semua kondisi sepertinya masih
baik-baik saja-saja, bursa taruhan dan para pengamat pun masih mengunggulkan
anak-anak del Bosque untuk memenangi laga tersebut. Sementara, hanya sedikit
yang menjagokan van Gaal dengan para pemain mudanya.
van Gaal sadar bahwa menghadapi
Spanyol dengan formasi 4-3-3 hanya akan menjadikan anak asuhnya seperti kucing
yang mengejar bola. Oleh sebab itu, ia memakai taktik yang berbeda, yaitu
5-3-2. Secara kasat mata, formasi tersebut seperti sebuah formasi defensif
menjurus “parkir bus”. Namun, dalam prakteknya di lapangan yang terjadi sangat
berbeda. Para pemain Belanda tidak bermain parkir bus, tapi seperti yang
diucapkan oleh van Gaal, “kami akan bermain seperti Atletico. Sementara,
Spanyol berkeras dengan gaya permainan “aslinya”, senada dengan ucapan del
Bosque, “Tim Spanyol menyatu dengan sempurna, baik di dalam maupun luar
lapangan, ini membuat setiap pembicaraan tentang taktik tidak terlalu
diperlukan, dan keberhasilan yang kami raih membuktikan kami tepat”.
Del Bosque sepertinya tidak sadar
bahwa lawan yang sedang dihadapinya adalah Belanda asuhan van Gaal yang
notabene suksesor Cruyff di Barcelona, dan paham betul luar dalam taktik
tiki-taka. Walhasil, dengan skuat yang tidak terlalu mewah, Belanda mampu
membungkam perlawanan Spanyol sekaligus menuntaskan dendam Johanesburg.