Sabtu, 21 Juni 2014

Van-gaalisme dan Kehancuran “Total Football”



         Mayoritas pecinta sepak bola dunia sampai detik ini mungkin masih belum percaya dengan skor destruktif yang dibukukan Timnas Spanyol kala dipecundangi Timnas Belanda 1-5. Di laga pembuka grup b yang dihelat sabtu pagi tersebut, Timnas Belanda yang berada di bawah komando Louis van Gaal telah menciptakan sebuah antitesis yang benar-benar menghancurkan ramalan para pengamat sepak bola dan bursa taruhan. Sang juara bertahan kini benar-benar dipermalukan oleh tim yang dipecundanginya empat tahun silam di laga pamungkas World Cup 2010. Sementara sang pemenang menolak status laga revans, berbagai pihak masih berpatokan pada mitos kecenderungan penurunan performa Timnas Belanda menjelang berakhirnya turnamen dan peningkatan performa Timnas Spanyol yang selalu diawali kekalahan di laga pembuka.
            Lalu apa sebenarnya penyebab tragedi tersebut? Kecerdasan van Gaal dalam meramu strategi atau kenaifan seorang Vicente del Bosque dengan platform tiki-takanya. Banyak spekulasi bermunculan, namun yang pasti perjudian van Gaal terhadap pemain muda Belanda menjadi kartu as yang mengalahkan perjudian del Bosque terhadap “anak-anak” la masia plus Diego Costa. Daley Blind, Daryl Janmaat, Bruno Martins, dan Jermain Lens nyatanya menampilkan performa lebih baik ketimbang Xavi, Iniesta, Pique, dan santo Iker. Duo Robben-Persie pun lebih bersinar daripada individualisme Diego Costa yang hanya menghasilkan skor penalti plus cercaan dari masyarakat Brazil di sepanjang laga.
            Sebelumnya Spanyol belum pernah menerima penghinaan sebesar ini sejak Skotlandia membombardir la furia roja 6-2 di ajang internasional tahun 1963. Selain itu, Spanyol juga pernah dipermalukan Brazil 4-0 pada pagelaran Piala Konfederasi tahun lalu. Fakta menarik lainnya adalah gol-gol yang dilesakkan van Persie dkk ke gawang Casillas lebih banyak tiga gol dari rekor kebobolan Timnas Spanyol disepanjang turnamen Piala Dunia 2010 lalu. Sementara itu, satu-satunya gol Spanyol yang dicetak dari titik penalti oleh Xabi Alonso pada laga itu merupakan gol penalti pertama Spanyol di Piala Dunia sejak David Villa melakukannya pada Juni 2006 ketika bersua Prancis.
            Bagus buruknya performa Spanyol di sembarang turnamen tampaknya bisa dilihat dari rekam jejak Barcelona di kompetisi domestik maupun Eropa. Maklum saja, sebagian besar amunisi Timnas Spanyol disesaki oleh para punggawa blaugrana yang dianggap sudah jadi dengan permainan tiki-takanya. Barcelona dianggap sebagai tim yang mengadopsi gaya permainan total football milik Belanda, dengan pasing-pasing pendek nan cepat serta pergerakan pemain yang tidak terduga nan mematikan, nama Barcelona mulai melegenda. Adalah Johan Cruyff “putra” sang Rinus Michels yang membawa virus tersebut ke tubuh Barcelona ketika menjadi pelatih pada kurun 1988-1996, dengan gaya bermain seperti itu Johan Cruyff berhasil membawa Barcelona meraih supremasi tertinggi ajang kompetisi klub Eropa (Liga Champions) untuk pertama kalinya pada tahun 1992. Gaya tiki-taka terus dikembangkan oleh Barcelona dengan memanfaatkan dutch connection sebagai pemilik sah gaya permainan tersebut. Louis van Gaal (1997-2000 dan 2000-2003) dan Frank Rijkaard (2003-2008) adalah dua nama Belanda terakhir yang mengentalkan gaya total footbal Barcelona, sebelum mereka menyerahkannya ke putra Catalan asli, Pep Guardiola (2008-2012).
            Berpuluh tahun lamanya gaya “total football” Barcelona mendominasi dan menjadi favorit bagi kalangan pecinta sepak bola dunia sampai akhirnya the special one, Jose Mourinho menemukan formula untuk mengganyang permainan sepak bola indah tersebut. Mourinho menamakannya taktik “parkir bus” bahkan “parkir pesawat”, sejak kemunculannya pada 2010 lalu ketika Mourinho menukangi Internazionale Milano, hingga saat ini teori itu begitu populer dan banyak diadopsi klub-klub besar Eropa ketika mereka bersua Barcelona.

Kegagalan Tiki-Taka dan Kejeniusan van Gaal
            Sejak Luiz Aragonez membawa Spanyol merengkuh gelar kedua Piala Eropa pada 2008 silam hingga del Bosque mempersembahkan trophy Piala Dunia 2010 dan Piala Eropa 2012, Spanyol masih bermain dengan cara yang sama, tiki-taka atau tidak sama sekali. Kedua pelatih itu seperti tidak melakukan perubahan apa-apa dalam hal taktikal karena komposisi Timnas Spanyol hampir separuh lebih diisi oleh anak-anak Barcelona. Seiring berjalannya waktu, tiki-taka yang menjadi madzhab permainan Barcelona pun perlahan mulai merapuh. Bahkan, tak perlu strategi rendahan semacam “parkir bus” untuk menaklukan Barcelona, dengan permainan keras dan rapat pun Barcelona dapat ditaklukan sesukanya seperti yang sudah dilakukan Atletico Madrid dan Bayern Munchen.
            Musim ini Barcelona mencapai titik nadir dengan ketidakmampuan memenangkan satu pun trophy mayor. Hal itu tentunya berdampak ke Timnas Spanyol arahan del Bosque. Meski demikian, del Bosque masih percaya “magis” tiki-taka dengan memasukkan para pemain yang sedang kehilangan musimnya semacam Pique, Alba, Busquets, Xavi, maupun Iniesta ke dalam starting eleven, dan mengabaikan bakat Koke, Isco, ataupun Illaramendi yang sedang mengalami musim bagus bersama klubnya masing-masing. Hingga tiba saatnya laga pembuka Piala Dunia 2014 melawan Belanda, semua kondisi sepertinya masih baik-baik saja-saja, bursa taruhan dan para pengamat pun masih mengunggulkan anak-anak del Bosque untuk memenangi laga tersebut. Sementara, hanya sedikit yang menjagokan van Gaal dengan para pemain mudanya.
            van Gaal sadar bahwa menghadapi Spanyol dengan formasi 4-3-3 hanya akan menjadikan anak asuhnya seperti kucing yang mengejar bola. Oleh sebab itu, ia memakai taktik yang berbeda, yaitu 5-3-2. Secara kasat mata, formasi tersebut seperti sebuah formasi defensif menjurus “parkir bus”. Namun, dalam prakteknya di lapangan yang terjadi sangat berbeda. Para pemain Belanda tidak bermain parkir bus, tapi seperti yang diucapkan oleh van Gaal, “kami akan bermain seperti Atletico. Sementara, Spanyol berkeras dengan gaya permainan “aslinya”, senada dengan ucapan del Bosque, “Tim Spanyol menyatu dengan sempurna, baik di dalam maupun luar lapangan, ini membuat setiap pembicaraan tentang taktik tidak terlalu diperlukan, dan keberhasilan yang kami raih membuktikan kami tepat”.
            Del Bosque sepertinya tidak sadar bahwa lawan yang sedang dihadapinya adalah Belanda asuhan van Gaal yang notabene suksesor Cruyff di Barcelona, dan paham betul luar dalam taktik tiki-taka. Walhasil, dengan skuat yang tidak terlalu mewah, Belanda mampu membungkam perlawanan Spanyol sekaligus menuntaskan dendam Johanesburg.