Malam
tadi aku berkesempatan menghadiri saresehan budaya di Wisma Kagama UGM.
Pembicaranya adalah seorang nyleneh yang tidak menamatkan kuliahnya di Fakultas
Ekonomi UGM. Dia adalah Emha Ainun Nadjib atau lebih popular dengan nama artis
Cak Nun. Ia datang bersama kawan akrabnya, Kiai Kanjeng, yaitu sebuah group
musik dengan aliran yang nyleneh pula. Malam tadi mereka membawakan sebuah lagu
yang tidak jelas genrenya, musiknya bernada salsa sementara lagu yang dibawakan
adalah sholawat. Bagi orang awam seperti diriku tentunya belum bisa menikmati
jenis musik semacam itu, namun aku bisa mengambil sisi positifnya, dengan
aransemen seperti itu aku melihat lagu sholawat yang selama ini hanya popular
di desa-desa dan umumnya hanya di apresiasi oleh orang-orang kampung, kini mulai
terangkat derajatnya. Ya, minimal bisa didendangkan di kampus yang katanya sudah mulai komersil ini. Bisa saja semalam para mahasiswa dan beberapa bule yang
mengikuti nyanyian lagu sholawat dengan gagap itu belum pernah menyanyikannya
atau malah belum tahu ada lagu semacam itu. Dan dengan sajian lagu sholawat
semacam itu pula Cak Nun dan Kiai Kanjeng telah melanglang buana ke daratan
Eropa.
Kembali
ke Cak Nun, dia adalah sosok nyleneh macam Presiden Gus Dur, bedanya dia kalah
tenar dari Gus Dur. Mungkin karena dia tidak presiden ya, hahaha…, karena orangnya
nyleneh maka yang menghadiri acaranya pun banyak yang nyleneh. Ada kaum santri
yang memakai atribut kesantriannya seperti sarung, baju koko, kopiah yang
pucuknya seolah ingin menyaingi kubah masjid Istiqlal, juga sorban yang semakin
menegaskan identitasnya. Ada pula yang memakai jaket dan celana pendek, seperti
ingin menyampaikan bahwa ia baru saja kehujanan. Ada juga yang berpenampilan
khas anak muda malam mingguan dengan membawa pacarnya, entah kesasar atau
memilih hiburan alternatif yang edukatif, atau memang tidak punya uang untuk
mentraktir pacar di restoran cepat saji. Entahlah, yang pasti tujuan mereka
adalah untuk meregangkan otot-otot yang selama seminggu telah mereka perbudak
untuk bekerja ataupun mengerjakan tugas-tugas kuliah. Mereka semua bersiapa
tertawa terbahak-bahak mendengarkan stand-up comedy yang dibawakan oleh orang
yang dianggap kyai ini.
Bukan
Cak Nun namanya bila tidak menghakimi seseorang di muka umum. Seperti salah
seorang narasumber yang pada malam itu menjelaskan tentang pengertian santri
secara sepanjang lebar hingga menjelaskan posisi santri dalam kedudukannnya
sebagai warga NKRI. Kami semua seperti nampak memperhatikan uraian dari
narasumber tersebut, namun dalam hati kecil kami sebenarnya sedang
menunggu-nunggu apa dan bagaimana tanggapan dari Cak Nun. Maka moment yang
paling ditunggu-tunggu pun tiba, usai narasumber tersebut memberikan paparan
panjang lebar mengenai santri, Cak Nun mulai melancarkan aksinya sebagai ahli
budaya, bukan menambahi atau memberi applause atas materi yang dijelaskan
narasumber, ia justru memberikan pertanyaan nyleneh kepada narasumber itu.
“begini
mas, anda tidak usah jauh-jauh membahas santri hingga menghubungkannya dengan
NKRI.” Ucap Cak Nun mengawali pembicaraannya.
“enggak
usah jauh-jauh dulu, sekarang saya tanya, si mbah Hasyim Asy’ari itu lahirnya
dimana?
“emm,
di Jombang, Cak” jawab sang narasumber.
“di
Jombang? tenan orak hayoo?” sahut Cak Nun diringi suara tawa membahana para
penonton.
“yakin,
cak” jawab narasumber penuh keyakinan dengan sorot mata penuh keraguan.
“salah
itu” jawab Cak Nun agak serius. “mbah Hasyim Asy’ari itu seorang imigran dari
Demak, dia lahir di Tambakberas sana, pindah ke Jombang karena Demak dinilai
sudah tidak kondusif lagi.” Jadi kalau kita membicarakan konteks lahirnya, mbah
Hasyim Asy’ari adalah seorang yang lahir
di demak, namun jika kita membicarakan kiprahnya, dia berkiprah dan tersohor di
Jombang.” gitu lho, dek” sahut Cak Nun sambil melihat narasumber yang masih
berstatus mahasiswa.
“inilah
kesalahan bangsa kita” lanjut Cak Nun. “Bangsa kita ini selalu lupa dengan
sejarahnya, sehingga bagaimana memahami berbagai persoalan bidang keilmuan jika
kita tidak tau sejarahnya.”
“sekarang
kita ambil contoh peristiwa pelemparan gedung demokrat dengan batu oleh beberapa
pemuda organisasi yang berafiliasi dengan NU di Jawa Timur.” Mereka marah atas
ucapan Shoetan Batugana (politisi partai demokrat) yang dianggap merendah kan
Gus Dur.” Jika mereka ingin membersihkan nama Gus Dur, para pemuda itu harusnya
menelusuri Gus Dur, bagaimanakah sepak terjangnya selama menjadi presiden,
buatlah sebuah penelitian yang menceritakan kiprah Gus Dur selama memimpin
NKRI.” Itulah gunanya sejarah. Ucap Cak
Nun
Diskusi
malam itu berlangsung gayeng,
beberapa orang penanya justru balik ditanya oleh Cak Nun, kelimpungan… itulah
tingkah para penanya yang dibuat malu di depan umum. Namun banyak hal positif
yang dapat mereka ambil selain kelimpungan dan kebingungan. Mereka harusnya
bangga mendapat pelajaran yang berharga dari penjelasan Cak Nun. Karena
bertanya itu menandakan “kebodohan,” sementara selalu bodoh itu adalah hal yang
baik, karena pastinya kita akan selalu belajar dan belajar untuk lebih pandai.
Sedangkan orang yang tidak pernah bertanya berarti ia merasa sudah pintar, dan
merasa selalu pintar adalah hal yang tidak baik karena berarti ia selalu
berpuas diri dari apa-apa yang sudah didapatinya. Bahkan dia pun tidak tahu
kalau sedang dibodohi Cak Nun.
Malam
minggu itu berlalu begitu cepat, ceramah Cak Nun yang diiringi dengan alunan musik
yang dibawakan Kiai Kanjeng seperti lorong waktu yang membawa kita ke masa lalu
dan dengan sesegera mungkin melesatkan kita ke masa depan. Terus seperti itu
hingga kita merasakan pandangan yang begitu terang dari kehidupan kita yang selalu
berjalan stagnan.