40 tahun lalu, tepatnya pada 29 November 1973 lahir
seorang bocah – yang namanya akan menjadi perbincangan hangat di dunia
sepakbola 40 tahun kemudian. Ia adalah Ryan Joseph Wilson atau familiar dengan
nama Ryan Joseph Giggs. Lahir di Cardiff, Wales (sebuah negara vassal di bawah
teritori Britania Raya), Giggs muda tak pernah berfikir untuk meninggalkan
kampung halamannya. Ia merasa cukup senang tinggal berdekatan dengan kakek-neneknya.
Namun, karena profesi ayahnya sebagai pemain rugby, ia harus ikut merantau
hingga ke daratan Inggris untuk menemani ayahnya yang bekerja di Swinton RLFC.
Bersama keluarganya, ia hijrah ke wilayah utara menuju Swinton Salford, Greater
Manchester. Untuk mengobati rasa rindu terhadap kampung halaman, ia bersama
keluarganya kerap pulang ke Cardiff pada akhir pekan atau saat liburan sekolah.
Setelah bermukim di Manchester, Giggs bermain sepakbola
untuk tim lokal, Deans FC yang dilatih oleh Dennis Schofield. Laga perdananya bersama
Deans berakhir dengan kekalahan telak 9-0 dari Stretford. Meski demikian,
banyak orang yang berkomentar bahwa Giggs telah menjadi pemain terbaik di
lapangan pada hari itu. Schofield merekomendasikan Giggs untuk bergabung ke
Manchester City FC, ia pun merespon baik tawaran itu dengan menandatangani
School of Excellence Manchester City FC. Sementara itu, ia tetap bermain untuk
klub Salford Boys, hingga akhirnya mencapai final pada kompetisi “Granada
School Cup” di Anfield pada 1987. Ia pun menjadi pemimpin bagi rekan-rekannya
ketika menaklukan Blackburn – sekaligus menjadi penerima piala kejuaraan yang
langsung diberikan oleh Kepala Liverpool, Ron Yeats. Yeats cukup terkesan
dengan bakat Giggs, dan akan merekomendasikan perekrutannya kepada Kenny Dalglish,
Manajer Liverpool FC.
Impian Manchester City dan Liverpool untuk mendapatkan
jasa Giggs akhirnya pupus setelah salah seorang berkebangsaan Skotlandia
menelikung usaha mereka dengan menawarkan paket menarik kepada Giggs muda. Alex
Ferguson, Manajer Manchester United FC, memberikan jaminan kepada Giggs bahwa
dirinya bisa menjadi profesional dalam jangka waktu tiga tahun bila bergabung
dengan klub yang diasuhnya. Saat bergabung dengan skuad yang juga dijuluki Red Devils tersebut, Giggs masih berusia
14 tahun. Rayuan dan garansi yang diberikan “kakek tua” itu pun dipenuhi
seiring dengan meningkatnya level permainan Giggs. Ia mulai bermain di tim
utama Manchester United sejak musim 1990/1991, dan menjadi pemain regular
setahun kemudian – sekaligus menjadi salah satu pemain yang ditabalkan sebagai
“Class of ’92.” Sebagai catatan, sampai usia 16 tahun, Giggs masih menggunakan
nama aslinya, Ryan Joseph Wilson. Namun, karena kasus perceraian kedua
orangtuanya, Ryan Joseph Wilson mengganti nama belakangnya – yang juga nama
ayahnya. Ia memilih mengganti nama “Wilson” menjadi “Giggs” sesuai dengan nama
belakang ibunya.
Bersama rekan “Class of ‘92” lainnya seperti, David
Beckham, Paul Scholes, Neville bersaudara, dan Nicky Butt – Giggs menuai sukses
besar. Penampilan cemerlangnya di usia muda mau tidak mau membuat Alex Ferguson
melakukan tindakan protektif terhadapnya. Giggs dilarang menanggapi pertanyaan
wartawan sampai usianya genap 20 tahun. Puncak kegemilangannya terjadi pada
tahun 1999, ketika ia menjadi bagian dari skuad Manchester United yang
memperoleh treble berupa Trophy EPL,
FA, dan Liga Champions. Tak hanya itu, rekor demi rekor pun ia ciptakan seperti
rekor klub dalam penampilan kompetitif, rekor piala klub yang ia peroleh
bersama Manchester United. Ia merupakan pemain terlama yang membela Manchester
United, mengalahkan rekor Sir Bobby Charlton (758 kali), ia juga telah
memenangkan 13 gelar Juara Liga – mengalahkan rekor pemain Liverpool, Alan
Hansen dan Phil Neal yang mendapatkan 9 gelar Juara Liga. Selain itu, The Welsh Wizard (julukan Giggs) juga
mengemas 4 gelar FA Cup, 2 gelar Piala Liga, dan 2 gelar Liga Champions. Salah
satu penampilan terbaiknya ketika menghadapi Arsenal di Semifinal Piala FA
1999, ia mencetak gol solo run yang
dilakukan dengan cara melewati seluruh bek Arsenal yang dikenal tangguh semacam
Tony Adams, dan Martin Keown.
Prestasi individualnya dalam mengolah kulit bundar
ternyata juga diikuti dengan sikap disiplinernya di lapangan. Giggs belum
pernah sekalipun mendapat kartu merah dalam karir di klubnya, dan ia hanya
pernah diusir satu kali dari lapangan ketika melakukan pertandingan melawan
Norwegia pada 2001. Tak hanya itu, Giggs juga diketahui telah menyandang gelar Order of British Empire (OBE) – dua tingkat di bawah gelar knighthood yang boleh menggunakan jabatan “sir” – dari ratu Inggris
pada 2007, karena jasa dan pengabdiannya pada sepakbola Inggris. Gelar serupa
juga disandang oleh David Beckham dan Alan Shearer.
Pemain hebat tanpa pernah tampil di Piala Dunia sekalipun
– ya, itulah julukan lain bagi The Welsh
Wizard. Bermain untuk skuad Wales bukanlah keinginan setiap pemain
sepakbola yang mempunyai impian bermain di Piala Dunia. Namun, bagi Giggs
bermain untuk bangsa dan negaranya adalah impian terbesarnya. Meski demikian,
ia juga pernah membela Timnas Junior Inggris saat duduk di bangku sekolah.
Keputusan
Alex Ferguson untuk merekrut Giggs pada usia adalah hal yang tepat.
Kecepatannya dan terobosannya saat usia muda menjadi senjata utama Manchester
United sejak era 90’an hingga awal 2000-an. Namun, sejak usianya memasuki
30-an, Giggs mulai merubah cara bermainnya menjadi lebih taktis – tak perlu
banyak berlari tapi umpan-umpannya tetap berbahaya. Banyak yang bertanya,
mengapa fisik dan kebugaran Giggsy – julukan
lainnya – masih begitu baik hingga saat ini? Ternyata Giggs melakukan olah
tubuh yang bernama yoga, bahkan bersama David Silva (Manchester City) ia sering
melakukan yoga bersama-sama.
Kini di usia yang menginjak 40 tahun, banyak yang
menerka-nerka kapan ia pensiun atau mengapa ia tidak segera pensiun. Padahal,
banyak orang-orang terdekatnya yang dulu mencapai kejayaan bersama telah
pensiun. Paul Scholes, David Beckham, Gary Neville-Phil Neville, bahkan hingga
seorang “Ferguson.” Dalam sebuah kolom berita ia mengatakan “jika aku tidak
bermain di Manchester United mungkin aku sudah pensiun.” Di saat banyak orang
beranggapan bahwa karir pesepakbola hanya mentok di usia menjelang 34 ke atas,
Giggs justru semakin menunjukkan kepiawaiannya dalam menyisir lini tengah. Aksi
heroiknya bisa kita lihat beberapa hari lalu ketika Manchester United bersua
Bayer Leverkusen pada laga penyisihan Liga Champions 2013, ia menyumbangkan dua
asist bagi kemenangan 0-5 Red Devils. Itulah Ryan Joseph Giggs,
saat sahabat-sahabatnya sudah meninggalkan lapangan sepakbola untuk menikmati
hari tua, ia justru hadir sebagai pengingat sekaligus pemain yang masih
menunjukkan sisa-sisa kejayaan “The Class
of ’92.”