Bicara mengenai gelar atau seseorang yang menyandang gelar sarjana,
apa yang terlintas dalam benak kita kala menjumpai kata sakral tersebut?.
Menurut saya pribadi, seorang sarjana adalah mahasiswa yang telah pensiun
sebagai agen perubahan, agen MLM, agen penyumbang kemacetan, ataupun agen
pemasok pelanggan angkringan. Dalam perspektif lain mereka bisa juga disebut
sebagai manusia berusia kepala dua yang telah terlepas dari beban—beban biaya
kuliah, beban fotokopi materi-materi kuliah, beban mental atau psikis, dan
tentunya beban orang tua. Melalui upacara seremonial semacam prosesi wisuda,
mereka dikukuhkan sebagai ilmuwan tingkat satu—yang nampak gamang ketika ingin
melanjutkan ke tingkat dua, dan nampak gusar ketika dua bulan belum mendapat
pekerjaan.
Kembali ke proses untuk
menjadi sarjana, bagi mahasiswa tingkat akhir yang mengerjakan skripsi,
hari-hari pasca sidang skripsi adalah masa-masa yang paling membahagiakan dalam
hidupnya. Persetan dengan nilai, asal tidak dapat nilai C dan sebangsanya saja,
maka itu sudah cukup dari lebih. Memberi kabar kepada orang tua dan sanak
saudara rasanya lebih penting dari hal itu. Poros dosen pembimbing-mahasiswa-perpustakaan
pun akan segera bubar seiring dengan berakhirnya kontrak kerja sama di antara ketiganya.
Jalinan yang selama ini terputus juga akan tersatukan kembali, tali silaturahmi
bersama kawan-kawan satu angkatan maupun satu kontrakan kembali
disambung-sambungkan, tawaran jalan-jalan yang tumbuh bak cendawan di musim
hujan menjadi pelipur lara bagi tubuh-tubuh yang didzalimi kopi dan setumpuk
referensi dalam masa ratusan hari.
Detil-detil kecil
menjadi sangat diperhatikan. Segala hutang menjadi wajib dibayar, segala
piutang menjadi wajib ditagih. Laman akademik menjadi pusat perhatian. Mana
nilai mata kuliah yang harus dibuang, mana yang wajib dipertahankan statusnya. Sharing
dan komunikasi dengan kawan sependadaran kian intensif dan menggelora. Dalam benak,
para calon sarjana akan merasa berbangga dan merasa wajib untuk memberi
petuah-petuah dan tips-tips kepada adik angkatan atau kawan seangkatan yang
masih terjerat belenggu skripsi. Mereka-mereka si calon pengangguran pasti akan
membesarkan hati para penanti tanggal ujian, bahwa mereka bisa menyusul wisuda periode
berikutnya.
Sebelum tiba
waktunya penasbihan gelar sarjana, para calon sarjana akan berada dalam ruang
hampa. Tersudut dalam kamar-kamar kontrakan, tersibukkan dengan berkas-berkas
lamaran pekerjaan, kerja paruh waktu, maupun sekedar mengisi kekosongan waktu
di kampung halaman. Status mahasiswa telah hilang bersama dengan raibnya kartu
tanda mahasiswa dan kartu-kartu perpustakaan. Nilai-nilai idealisme yang sempat
bercokol di pundak mahasiswa semasa beralmamater, kini perlahan terkikis, menipis,
hingga akhirnya habis ditelan sistem industri. Status agen perubahan dengan lekas
di lepaskan, dan diambil alih oleh adik angkatan.
Hingga tiba
waktunya penasbihan gelar sarjana, para sarjana akan menjadi makhluk ambisius.
Tawaran-tawaran pekerjaan dari korporat maupun lowongan beasiswa untuk
melanjutkan ke strata selanjutnya seperti sebuah takdir yang harus disegerakan.
Meraih pendapatan besar atau kembali berstatus menjadi mahasiswa (S-2) adalah
sebuah idaman. Mendapat pasangan dan berkeluarga adalah sebuah tujuan.