Minggu, 18 Mei 2014

Sarjana



            Bicara mengenai gelar atau seseorang yang menyandang gelar sarjana, apa yang terlintas dalam benak kita kala menjumpai kata sakral tersebut?. Menurut saya pribadi, seorang sarjana adalah mahasiswa yang telah pensiun sebagai agen perubahan, agen MLM, agen penyumbang kemacetan, ataupun agen pemasok pelanggan angkringan. Dalam perspektif lain mereka bisa juga disebut sebagai manusia berusia kepala dua yang telah terlepas dari beban—beban biaya kuliah, beban fotokopi materi-materi kuliah, beban mental atau psikis, dan tentunya beban orang tua. Melalui upacara seremonial semacam prosesi wisuda, mereka dikukuhkan sebagai ilmuwan tingkat satu—yang nampak gamang ketika ingin melanjutkan ke tingkat dua, dan nampak gusar ketika dua bulan belum mendapat pekerjaan.
            Kembali ke proses untuk menjadi sarjana, bagi mahasiswa tingkat akhir yang mengerjakan skripsi, hari-hari pasca sidang skripsi adalah masa-masa yang paling membahagiakan dalam hidupnya. Persetan dengan nilai, asal tidak dapat nilai C dan sebangsanya saja, maka itu sudah cukup dari lebih. Memberi kabar kepada orang tua dan sanak saudara rasanya lebih penting dari hal itu. Poros dosen pembimbing-mahasiswa-perpustakaan pun akan segera bubar seiring dengan berakhirnya kontrak kerja sama di antara ketiganya. Jalinan yang selama ini terputus juga akan tersatukan kembali, tali silaturahmi bersama kawan-kawan satu angkatan maupun satu kontrakan kembali disambung-sambungkan, tawaran jalan-jalan yang tumbuh bak cendawan di musim hujan menjadi pelipur lara bagi tubuh-tubuh yang didzalimi kopi dan setumpuk referensi dalam masa ratusan hari.   
            Detil-detil kecil menjadi sangat diperhatikan. Segala hutang menjadi wajib dibayar, segala piutang menjadi wajib ditagih. Laman akademik menjadi pusat perhatian. Mana nilai mata kuliah yang harus dibuang, mana yang wajib dipertahankan statusnya. Sharing dan komunikasi dengan kawan sependadaran kian intensif dan menggelora. Dalam benak, para calon sarjana akan merasa berbangga dan merasa wajib untuk memberi petuah-petuah dan tips-tips kepada adik angkatan atau kawan seangkatan yang masih terjerat belenggu skripsi. Mereka-mereka si calon pengangguran pasti akan membesarkan hati para penanti tanggal ujian, bahwa mereka bisa menyusul wisuda periode berikutnya.
            Sebelum tiba waktunya penasbihan gelar sarjana, para calon sarjana akan berada dalam ruang hampa. Tersudut dalam kamar-kamar kontrakan, tersibukkan dengan berkas-berkas lamaran pekerjaan, kerja paruh waktu, maupun sekedar mengisi kekosongan waktu di kampung halaman. Status mahasiswa telah hilang bersama dengan raibnya kartu tanda mahasiswa dan kartu-kartu perpustakaan. Nilai-nilai idealisme yang sempat bercokol di pundak mahasiswa semasa beralmamater, kini perlahan terkikis, menipis, hingga akhirnya habis ditelan sistem industri. Status agen perubahan dengan lekas di lepaskan, dan diambil alih oleh adik angkatan.
            Hingga tiba waktunya penasbihan gelar sarjana, para sarjana akan menjadi makhluk ambisius. Tawaran-tawaran pekerjaan dari korporat maupun lowongan beasiswa untuk melanjutkan ke strata selanjutnya seperti sebuah takdir yang harus disegerakan. Meraih pendapatan besar atau kembali berstatus menjadi mahasiswa (S-2) adalah sebuah idaman. Mendapat pasangan dan berkeluarga adalah sebuah tujuan.    

Senin, 12 Mei 2014

Perkampungan di Yogyakarta: Sebuah Sejarah Singkat

Yogyakarta sebagai sebuah Kerajaan Islam yang eksistensinya masih terjaga sampai saat ini di dalamnya tersimpan berbagai keanekaragaman. Keanekaragaman itu salah satunya tercermin dari munculnya kampung-kampung yang dibangun berdasarkan profesi, etnis ataupun status sosial di masyarakat.
Memasuki abad ke-20 Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia dihadapkan pada sejumlah persoalan rumit mengenai pertambahan penduduk, tanah dan lahan pemukiman dan usaha. Selain itu isu-isu mengenai ledakan penduduk, kemiskinan, lapangan pekerjaan dan perumahan serta fenomena urbanisasi mulai mengemuka di Jawa. Isu-isu ini kemudian menjadi sebuah persoalan yang harus dijawab pemerintah kolonial. Sementara itu politik etis yang diresmikan Ratu Wilhelmina pada 1901 mempunyai beberapa agenda mendasar terkait dengan masalah pendidikan, emigrasi dan irigasi dan kebijakan tentang penataan kampung atau kampong verbeteringen, penanggulangan kesehatan, pendirian lumbung desa, pendirian bank perkreditan rakyat dan lain sebagainya. Dan beberapa solusi tersebut dianggap sebagai jalan terbaik untuk menjawab berbagai persoalan yang mengemuka pada masa itu. Semua itu secara tidak langsung turut melatari perkembangan kota-kota di Indonesia termasuk Yogyakarta.
Pesatnya modernisasi, industrialisasi, dan komersialisasi di Yogyakarta menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat luar kota dan mengakibatkan terjadinya arus urbanisasi. Selain itu interaksi yang terjadi dari berbagai lapisan masyarakat dan etnis semakin menambah plural komposisi masyarakat Yogyakarta. Dengan semakin pluralnya masyarakat perkotaan di Yogyakarta, maka timbulah perkampungan homogen yang dihuni oleh etnis tertentu dan masyarakat yang mempunyai profesi tertentu.

Munculnya Pemukiman Bangsa Eropa
Rumah bangsa Eropa telah ada sekitar abad 19, tepatnya setelah perang diponegoro. Pasca perang tersebut kompleks di sekitaran kraton mulai berdiri rumah residen Belanda, Loji Kebon termasuk juga Vredeburg atau Loji Besar. Pada waktu itu orang-orang Eropa hanya berjumlah 400 jiwa dan bermukim diantara kraton dan Vredeburg. Sebagian lagi tinggal di timur benteng yang kemudian dikenal dengan sebutan Loji Ketjil, letak lebih tepatnya untuk saat ini adalah mulai dari kompleks pertokoan buku shopping hingga perempatan gondomanan. Loji Ketjil lainnya terletak di komplek taman pintar.

Perkembangan Pemukiman
Pada awalnya perkembangan pemukiman di Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar selatan-utara. Seiring berjalannya waktu, lambat laun pemukiman warga tumbuh di sekitar poros yang melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara, jalan malioboro hingga tugu. Pemukiman tersebut dinamakan sesuai dengan profesi para warga yang sebagian besar mendiaminya.
Kraton Yogyakarta di kelilingi oleh benteng  dan bangunan yang ada di dalamnya disebut “jero beteng” daerah tersebut meliputi: Alun-alun utara, Tratag, Pagelaran, Stingghil, Prabayksa, Kraton Kilen, dan Alun-alun kidul.
Pemukiman para abdi dalem digolongkan berdasarkan jenis pekerjaannya. Kampung Kemitbumen dihuni oleh para kemitbumi yang bertugas menjaga kebersihan halaman kraton, kampung Siliran dihuni oleh para silir yang bertugas mengurus seluruh lampu kraton, kampung Gamelan dihuni oleh para gamel yang bertugas menguurusi kuda milik Sultan, kampung Pesindenan dihuni oleh para sinden, kampung Patehan ditinggali oleh para abdi dalem yang mengurusi minuman di kraton, kampung Nagan didiami oleh para penabuh gamelan kraton dan yang terakhir kampung Kauman yang dihuni oleh para ulama kraton.
Selain perkampungan yang dihuni oleh para warga yang mempunyai profesi serupa, ada juga perkampungan tempat tinggal para bangsawan seperti Pakuningratan, Jayakusuman, Ngadikusuman, Panembahan, Mangkubumen, dan Suryadiningratan.
Adanya pemukiman “jero beteng” berarti ada pula pemukiman di luar benteng atau “jaba beteng.” Pemukiman ini dihuni oleh para prajurit kraton, mereka bertempat tinggal di kampung Bugisan, Surakarsan, Nyutran, Mantrijeron, Ketanggungan, Prawirataman, Jagokaryan, Daengan, Patangpuluhan, serta Wirabrajan. Selain itu ada juga perkampungan orang Madura yang bernama Menduran, dan perkampungan para hamba istana seperti Pajeksan yang ditinggali para jaksa, kampung Gandekan dihuni oleh para pesuruh, sedangkan tukang kayu menghuni kampung Dagen, sementara itu para tukang batu menempati kampung Jlagran dan ahli bangunan bermukim di Gowongan.

Pemukiman Bangsa Asing
Selain di Loji Besar dan Loji Ketjil, bangsa Eropa juga bermukim di daerah kota baru dan sagan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa bangunan yang bercorak indies. Selain kawasan pemukiman Eropa, terdapat juga pemukiman bangsa lainnya seperti Arab dan Cina. Daerah pasar Kranggan dan Pecinan adalah wilayah yang dulunya menjadi basis pemukiman etnis Tionghoa, sedangkan bangsa Arab menghuni wilayah yang dinamakan Sayidan.

Kesimpulan
Munculnya perkampungan homogen di kota Yogyakarta tentu semakin menambah khasanah kebudayaan di kota ini. Kampung-kampung yang dihuni oleh para pegawai seprofesi dan satu kelompok ras tertentu akan menambah rasa kekerabatan diantara mereka masing-masing. Meski saat ini kampung-kampung tersebut tidak lagi murni homogen, namun nama-nama perkampungan tersebut tidak ada yang berubah. Bahkan wilayah-wilayah seperti di Kranggan dan Kota Baru meninggalkan corak bangunan khas yang siapa saja sudah pasti bisa menebak siapa mayoritas masyarakat yang bermukim di situ.

Referensi:
M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2008.
Abdurrachman Surjomihardjo. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. Depok: Komunitas Bambu. 2008.
Hamid Algadri. Islam Dan Keturunan Arab. Bandung: Mizan. 1984.