Jumat, 29 November 2013

The Welsh Wizard dan Sisa-Sisa Kejayaan “Class of ‘92”



            40 tahun lalu, tepatnya pada 29 November 1973 lahir seorang bocah – yang namanya akan menjadi perbincangan hangat di dunia sepakbola 40 tahun kemudian. Ia adalah Ryan Joseph Wilson atau familiar dengan nama Ryan Joseph Giggs. Lahir di Cardiff, Wales (sebuah negara vassal di bawah teritori Britania Raya), Giggs muda tak pernah berfikir untuk meninggalkan kampung halamannya. Ia merasa cukup senang tinggal berdekatan dengan kakek-neneknya. Namun, karena profesi ayahnya sebagai pemain rugby, ia harus ikut merantau hingga ke daratan Inggris untuk menemani ayahnya yang bekerja di Swinton RLFC. Bersama keluarganya, ia hijrah ke wilayah utara menuju Swinton Salford, Greater Manchester. Untuk mengobati rasa rindu terhadap kampung halaman, ia bersama keluarganya kerap pulang ke Cardiff pada akhir pekan atau saat liburan sekolah.
            Setelah bermukim di Manchester, Giggs bermain sepakbola untuk tim lokal, Deans FC yang dilatih oleh Dennis Schofield. Laga perdananya bersama Deans berakhir dengan kekalahan telak 9-0 dari Stretford. Meski demikian, banyak orang yang berkomentar bahwa Giggs telah menjadi pemain terbaik di lapangan pada hari itu. Schofield merekomendasikan Giggs untuk bergabung ke Manchester City FC, ia pun merespon baik tawaran itu dengan menandatangani School of Excellence Manchester City FC. Sementara itu, ia tetap bermain untuk klub Salford Boys, hingga akhirnya mencapai final pada kompetisi “Granada School Cup” di Anfield pada 1987. Ia pun menjadi pemimpin bagi rekan-rekannya ketika menaklukan Blackburn – sekaligus menjadi penerima piala kejuaraan yang langsung diberikan oleh Kepala Liverpool, Ron Yeats. Yeats cukup terkesan dengan bakat Giggs, dan akan merekomendasikan perekrutannya kepada Kenny Dalglish, Manajer Liverpool FC.
            Impian Manchester City dan Liverpool untuk mendapatkan jasa Giggs akhirnya pupus setelah salah seorang berkebangsaan Skotlandia menelikung usaha mereka dengan menawarkan paket menarik kepada Giggs muda. Alex Ferguson, Manajer Manchester United FC, memberikan jaminan kepada Giggs bahwa dirinya bisa menjadi profesional dalam jangka waktu tiga tahun bila bergabung dengan klub yang diasuhnya. Saat bergabung dengan skuad yang juga dijuluki Red Devils tersebut, Giggs masih berusia 14 tahun. Rayuan dan garansi yang diberikan “kakek tua” itu pun dipenuhi seiring dengan meningkatnya level permainan Giggs. Ia mulai bermain di tim utama Manchester United sejak musim 1990/1991, dan menjadi pemain regular setahun kemudian – sekaligus menjadi salah satu pemain yang ditabalkan sebagai “Class of ’92.” Sebagai catatan, sampai usia 16 tahun, Giggs masih menggunakan nama aslinya, Ryan Joseph Wilson. Namun, karena kasus perceraian kedua orangtuanya, Ryan Joseph Wilson mengganti nama belakangnya – yang juga nama ayahnya. Ia memilih mengganti nama “Wilson” menjadi “Giggs” sesuai dengan nama belakang ibunya.
            Bersama rekan “Class of ‘92” lainnya seperti, David Beckham, Paul Scholes, Neville bersaudara, dan Nicky Butt – Giggs menuai sukses besar. Penampilan cemerlangnya di usia muda mau tidak mau membuat Alex Ferguson melakukan tindakan protektif terhadapnya. Giggs dilarang menanggapi pertanyaan wartawan sampai usianya genap 20 tahun. Puncak kegemilangannya terjadi pada tahun 1999, ketika ia menjadi bagian dari skuad Manchester United yang memperoleh treble berupa Trophy EPL, FA, dan Liga Champions. Tak hanya itu, rekor demi rekor pun ia ciptakan seperti rekor klub dalam penampilan kompetitif, rekor piala klub yang ia peroleh bersama Manchester United. Ia merupakan pemain terlama yang membela Manchester United, mengalahkan rekor Sir Bobby Charlton (758 kali), ia juga telah memenangkan 13 gelar Juara Liga – mengalahkan rekor pemain Liverpool, Alan Hansen dan Phil Neal yang mendapatkan 9 gelar Juara Liga. Selain itu, The Welsh Wizard (julukan Giggs) juga mengemas 4 gelar FA Cup, 2 gelar Piala Liga, dan 2 gelar Liga Champions. Salah satu penampilan terbaiknya ketika menghadapi Arsenal di Semifinal Piala FA 1999, ia mencetak gol solo run yang dilakukan dengan cara melewati seluruh bek Arsenal yang dikenal tangguh semacam Tony Adams, dan Martin Keown.
            Prestasi individualnya dalam mengolah kulit bundar ternyata juga diikuti dengan sikap disiplinernya di lapangan. Giggs belum pernah sekalipun mendapat kartu merah dalam karir di klubnya, dan ia hanya pernah diusir satu kali dari lapangan ketika melakukan pertandingan melawan Norwegia pada 2001. Tak hanya itu, Giggs juga diketahui telah menyandang gelar Order of British Empire (OBE) – dua  tingkat di bawah gelar knighthood yang boleh menggunakan jabatan “sir” – dari ratu Inggris pada 2007, karena jasa dan pengabdiannya pada sepakbola Inggris. Gelar serupa juga disandang oleh David Beckham dan Alan Shearer.
            Pemain hebat tanpa pernah tampil di Piala Dunia sekalipun – ya, itulah julukan lain bagi The Welsh Wizard. Bermain untuk skuad Wales bukanlah keinginan setiap pemain sepakbola yang mempunyai impian bermain di Piala Dunia. Namun, bagi Giggs bermain untuk bangsa dan negaranya adalah impian terbesarnya. Meski demikian, ia juga pernah membela Timnas Junior Inggris saat duduk di bangku sekolah.
                Keputusan Alex Ferguson untuk merekrut Giggs pada usia adalah hal yang tepat. Kecepatannya dan terobosannya saat usia muda menjadi senjata utama Manchester United sejak era 90’an hingga awal 2000-an. Namun, sejak usianya memasuki 30-an, Giggs mulai merubah cara bermainnya menjadi lebih taktis – tak perlu banyak berlari tapi umpan-umpannya tetap berbahaya. Banyak yang bertanya, mengapa fisik dan kebugaran Giggsy – julukan lainnya – masih begitu baik hingga saat ini? Ternyata Giggs melakukan olah tubuh yang bernama yoga, bahkan bersama David Silva (Manchester City) ia sering melakukan yoga bersama-sama.
            Kini di usia yang menginjak 40 tahun, banyak yang menerka-nerka kapan ia pensiun atau mengapa ia tidak segera pensiun. Padahal, banyak orang-orang terdekatnya yang dulu mencapai kejayaan bersama telah pensiun. Paul Scholes, David Beckham, Gary Neville-Phil Neville, bahkan hingga seorang “Ferguson.” Dalam sebuah kolom berita ia mengatakan “jika aku tidak bermain di Manchester United mungkin aku sudah pensiun.” Di saat banyak orang beranggapan bahwa karir pesepakbola hanya mentok di usia menjelang 34 ke atas, Giggs justru semakin menunjukkan kepiawaiannya dalam menyisir lini tengah. Aksi heroiknya bisa kita lihat beberapa hari lalu ketika Manchester United bersua Bayer Leverkusen pada laga penyisihan Liga Champions 2013, ia menyumbangkan dua asist bagi kemenangan  0-5 Red Devils. Itulah Ryan Joseph Giggs, saat sahabat-sahabatnya sudah meninggalkan lapangan sepakbola untuk menikmati hari tua, ia justru hadir sebagai pengingat sekaligus pemain yang masih menunjukkan sisa-sisa kejayaan “The Class of ’92.
       

Sabtu, 13 April 2013

Insomania

Rasanya sulit untuk memjamkan mata malam ini barang sedetik pun. Sebenarnya bukan hanya malam ini saja, malam-malam sebelumnya pun mataku sulit terpejam. Sebenarnya bukan hanya malam-malam sebelumnya  saja, malam-malam sebelum-sebelumnya pun diriku selalu terjaga sampai-sampai malamnya sendiri pun lelah, lelah karena harus selalu menyediakan ruang bagi sebagian makhluk “penggemar” insomnia. Bagi sebagian makhluk insomnius (anggap saja ini sebutan bagi para “pengidap” insomnia) seperti diriku, suasana malam yang sunyi dan sepi sangat mubadzir bila hanya digunakan untuk mendengkur di atas badan kasur. Seperti wanita cantik, suasana malam menjelang pagi pun sangat pantas untuk dinikmati dan dijamah. Cara menikmatinya pun bisa dengan berbagai macam cara, bisa dengan cara merenungkan kejadian seharian, seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, bahkan bisa bertahun-tahun yang lalu, atau bisa juga menulis tentang…?? tentang apa saja… politik, sepak bola, budaya, ataupun tulisan-tulisan bergenre sampah macam tulisan yang sedang engkau baca ini. Toh sampah pun ada yang berguna, barangkali tulisanku bisa masuk salah satu kategori sampah yang bisa dimanfaatkan atau di daur ulang.
Kembali ke tema penulisan, (ah, kalimat-kalimat ilmiah keparat itu selalu saja memenuhi ruang fiksiku). Maksudku, kembali ke pembahasan, (ah, salah lagi). Maksudku kembali ke pembicaraanku mengenai insomnia atau dalam bahasa gaulnya begadang, setidaknya para pelakunya telah berjasa, berjasa karena mereka telah membuat malam tetap hidup ditengah-tengah jutaan makhluk yang terkapar dan tidak berdaya.

Kamis, 14 Maret 2013

Tersungkur di sisa malam… Tersesat di sisa malam…


Begitulah kira-kira penggalan lirik lagu melankolia yang dinyanyikan oleh grup musik efek rumah kaca. Saat banyak orang-orang yang tersungkur di kasur menghabiskan sisa malam disaat itu pula banyak orang yang justru tersesat. Tersesat karena bingung harus melakukan apa untuk menghabiskan sisa malamnya. Para kaum santri mungkin bisa menghabiskan sisa malamnya untuk menghafalkan ayat-ayat al-qur’an, sementara para pekerja kantor di pusat kota pasti akan sibuk  lembur dengan pekerjaan tambahannya, jangan lupakan pula para supir bus malam yang senantiasa setia mengukur jalanan, tak peduli mulus dan datarnya tol palimanan ataupun curam dan terjalnya jalur alas roban, namun satu hal yang pasti ia mempunyai kegiatan. Jangan lupakan juga para maling, pemburu kodok, dan kumpulan burung hantu yang selalu menanti sisa malam untuk berkegiatan.
Memang banyak orang yang mempunyai aktivitas di sisa malamnya, namun tidak sedikit pula yang tersesat. Mereka tersesat diantara orang yang berkegiatan dan segala makhluk yang terpejam, tidak tahu apa yang ingin dikerjakan, berkhayal tentang masa depan atau sekedar merenungi kejadian seharian. Namun, itupun rasanya tidak bisa dikatakan tersesat, berpikir juga merupakan salah satu kegiatan. Satu-satunya orang yang bisa dianggap “tersesat di sisa malam” sepertinya adalah orang yang sedang membaca artikel ini!