Rabu, 23 Desember 2015

Rayuan Pulau Harapan

Kurang piknik. Begitulah judulnya. Selama 7 bulan perantauan di ibu kota, saya baru dua kali pergi ke dua daerah selain kampung halaman, yaitu Pulau Harapan [Kepulauan Seribu] dan kota dawet: Banjarnegara. Berhubung saya belum pernah mempublikasikannya di blog pinggiran ini, untuk mengisi waktu luang, maka saya akan menceritakannya kepada anda sekalian. Di mulai dari pulau Harapan.
Sebagian orang mungkin memiliki ekspektasi lebih terhadap pulau yang terletak gugusan Kepulauan Seribu ini. Yah, namanya saja pulau Harapan, tentu harapannya yang bagus-bagus dong ya. Faktanya, jika kita menelusurinya lewat internet, yang tampak dari pulau Harapan memang hanya keindahan semata.
 www.yuktravel.com
Secara administratif, pulau Harapan masuk  wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu. Pulau Pelemparan, demikian nama lain pulau ini disebut, membawahi 30 gugusan pulau dan masuk dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, dengan status tanah milik pemerintah daerah dan tanah adat.
Perjalanan ke pulau Harapan saya lakukan sekitar bulan Mei lalu. Tak banyak yang saya siapkan karena kunjungan ke sana merupakan penugasan dari kantor tempat saya menimba pundi-pundi uang ilmu. Walhasil, saya hanya menyiapkan barang-barang seperlunya: celana dua potong, kaus dan "jeroan" dua potong, dan perlengkapan mandi. Tetek mbengek semacam ongkos transportasi dan lokasi penginapan, saya tidak mengurusi karena itu sudah menjadi tanggung jawab Yayasan Terumbu Karang Indonesia, selaku pihak pengundang.       
Perjalanan ke pulau yang jaraknya sepelemparan batu dari Jakarta ini  dimulai dari Dermaga 17, Marina, Ancol. Dari sini biasanya hanya ada sarana transportasi speed boat, sementara jika ingin menggunakan alternatif kapal motor kita perlu ke dermaga Muara Angke. 
Setelah membayar biaya retribusi Ancol sebesar Rp. 25.000, saya bergegas menuju Dermaga 17. Untuk menuju ke sana kita mesti berjalan beberapa menit, namun ada alternatif lain seperti angkutan ojek dengan tarif sekitar Rp. 10.000 rupiah sekali jalan.  
Tepat pukul 08.30kapal cepat bernama Predator menyalakan dua buah mesin penggeraknya. Fasilitas kapal cepat ini cukup memadai. Selain pendingin udara, kursi yang nyaman dan toilet bersih, kapal ini juga dilengkapi televisi layar datar, lengkap dengan perangkat sound system-nya .
Untuk menebus fasilitas tersebut, biaya yang harus kita keluarkan cukup besar, yakni sekitar Rp. 270.000 per orang. Namun, biaya mahal tersebut berbanding lurus dengan apa yang kita didapatkan. Selain kenyamanan, waktu tempuh yang lebih sedikit [2 jam] juga menjadi nilai lebih.
Bila ingin menekan biaya akomodasi, kita bisa menggunakan kapal motor melalui dermaga Muara Angke. Cukup dengan mahar Rp. 60.000, kita bisa bervakansi ria tanpa menguras isi dompet. Tapi, kita juga harus siap dengan segala konsekuensinya seperti waktu tempuh yang lebih lama [4 jam] hingga faktor kenyamanan dan keamanan yang biasanya terabaikan.
Waktu menunjukkan pukul 09.52, ketika kapal yang saya tumpangi bersama anggota Terumbu Karang Indonesia (Terangi) dan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) merapat ke dermaga pulau Harapan. Suasana liburan--yang kalau boleh dikatakan seperti suasana mudik lebaran--langsung terasa ketika mendapati sisi dermaga dipadati lautan manusia.
Jauh dari harapan ketika kita menyaksikan foto-foto indah nan menggoda pulau Harapan dari dunia maya, pulau Harapan sejatinya tidak menawarkan apa-apa, selain tempat singgah dan beristirahat. Objek wisata yang ada di foto-foto tersebut, sebenarnya merupakan pulau-pulau "satelit" ada di sekitar pulau Harapan. Maka, jangan berharap memegang lembutnya pasir pantai dan indahnya matahari terbenam jika tak beranjak dari Harapan.
Spot wisata yang bisa dikunjungi terdapat di pulau Bira Besar, Kayuangin Panjang, Kayuangin Genteng, Putri, Gosong, dan pulau Bulat.
Menurut informasi yang saya dapat dari nelayan sekitar, beberapa pulau tersebut seperti Kayuangin Panjang, Putri, dan pulau Bulat, telah dimiliki oleh pihak swasta. Beberapa diantaranya ada yang terawat dan tidak terawat. “Kalaupun ada yang merawat, biasanya hanya penjaga. Pemiliknya jarang kelihatan,” kata seorang nelayan yang menolak memberitahu identitasnya.
Saya mendapat jatah mengunjungi Bira Besar dan Kayuangin Genteng. Untuk menuju ke sana, bisa menyewa perahu nelayan dengan estimasi biaya Rp. 350.000 hingga Rp. 400.000 untuk pulang pergi.
Di Bira Besar, kita bisa mencoba olahraga air yang memacu adrenalin seperti fly fish, banana boat, watersofadonuts, canoeing, dan diving. Tarif yang dikenakan untuk mencoba permainan tersebut sekitar Rp 35.000 per orang.
Di pulau Kayuangin Genteng, yang menjadi tujuan wisata utama di pulau Harapan, kita baru mendapati keindahan pantai berpasir putih. Di pulau ini saya menyaksikan keindahan terumbu karang dan biota laut melalui kegiatan snorkeling dan diving.
Perawatan terumbu karang artifisial [dok. Kehati]
Saya dan beberapa kawan dari Terangi mencoba snorkeling di pulau ini. Snorkeling hanya dilakukan di bibir pantai karena kondisi laut ketika itu kurang bersahabat, ombaknya cukup besar. Meski di bibir pantai, kita bisa menyaksikan kumpulan terumbu karang yang indah. Serpihan-serpihan terumbu karang yang hancur berbaur dengan pasir pantai membentuk ornamen yang bisa dijadikan buah tangan.
Salah satu kegiatan dalam acara Coral Day [dok. Kehati]
Bila segan menyentuh air laut yang asin, kita bisa menikmati pesona alam pulau Kayuangin Genteng. Di sini banyak spot untuk anda-anda yang narsis dan gemar selfie. Ada jembatan panjang yang menjorok ke laut. Ada pula pohon-pohon besar nan rindang yang bisa dijadikan latar belakang foto.
Tak banyak yang bisa saya ceritakan dari aspek kuliner. Selain karena saya tidak terlalu suka makanan laut, tampaknya juga tak banyak pedagang yang menjajakan seafood.
Di Pulau Harapan banyak gerobak pedagang kaki lima yang menjajakan makanan khas “masyarakat darat”. Ada cimol, batagor, roti bakar, mi ayam, hingga es krim cone. Harganya variatif, mulai dari Rp. 5.000 hingga Rp. 10.000.
Selama dua hari satu malam di pulau Harapan, saya merasakan masih banyak sisi yang harus dibenahi pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan. Hal utama yang harus segera ditangani adalah pengelolaan sampah, jaringan komunikasi, dan ketersediaan air bersih.
Pengarahan sebelum kegiatan bersih-bersih pantai [dok. Kehati] 
Sepanjang pengamatan saya, masih banyak sampah bertebaran, terutama menuju ke kawasan tanaman mangrove. Air bersih untuk kebutuhan sehari-hari juga masih jauh dari layak. Jaringan komunikasi pun amar buruk untuk ukuran wilayah yang tak terpencil-terpencil amat.
Di pulau yang hanya berjarak puluhan kilometer dari ibu kota Jakarta, kehadiran negara masih direpresentasikan dengan penempatan personel militer sekelas marinir. Hal itu tidak keliru, sebab jalur laut di sekitar pulau Harapan kerap digunakan untuk aksi kejahatan seperti jalur distribusi narkoba.
Kehadiran negara sejatinya akan lebih bermakna, jika pemerintah mampu menyediakan fasilitas yang lebih layak untuk kepentingan warga dan wisatawan.
Sebagai bagian dari kawasan taman nasional, pulau Harapan memang menjadi target utama untuk dijadikan kawasan konservasi sekaligus tujuan wisata. Beberapa organisasi nonpemerintah seperti Terangi dan Kehati memulai dengan mengedukasi masyarakat akan pentingnya terumbu karang dan tanaman mangrove sebagai aset lingkungan dan pariwisata.

Selasa, 15 Desember 2015

Kisah Para Tahanan Politik Digul

Kamp Digul
Digul adalah penjara alam bagi kelompok pergerakan yang menentang kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan kondisi alam yang ganas dan terpencil di pedalaman Papua, Digul menjadi mimpi buruk bagi siapa saja yang dibuang ke tempat ini.
Kamp konsentrasi Digul didirikan untuk mengganti metode pengasingan ke luar negeri. Segera setelah meletus pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926-1927, pemerintah kolonial Belanda menjadikan Digul sebagai tempat hukuman utama bagi ribuan tahanan politik.
Selain mendapat perlakuan kasar, para tahanan politik di Digul harus melakukan kerja paksa membabat hutan dan membuka ladang. Mereka juga mesti berhadapan dengan kondisi lingkungan yang tidak bersahabat. Mulai dari serangan malaria hingga ancaman serangan penduduk lokal.
Beberapa dari tawanan tersebut kemudian mengabadikan pengalaman mereka dalam tulisan. Para bekas tawanan yang biasa disebut Digulis seperti Abdoel Karim, Wiranta, Manu Turoe, Oen Bo Tik, dan satu orang anonim, menarasikan pengalaman mereka dalam bentuk roman sejarah.
Karya-karya mereka kemudian dipersatukan dan dihimpun dalam sebuah buku oleh Pramoedya Ananta Toer. Motif Pram dalam menyusun kumpulan roman ini dilandasi ketertarikan pada buku Minggat dari Digul. Buku karya anonim itu memperlihatkan foto-foto penduduk asli Digul berkulit gelap, rambut keriting, dan tubuh yang hampir telanjang bulat. Para tahanan politik Digul menyebut mereka suku Kayakaya.
Di halaman lain, Pram juga disuguhi foto-foto mengenai kondisi alam Digul dengan sungai-sungai yang lebar dan hutan lebat. “Semenjak itu pesona Digul tidak pernah surut, dan menempati sebuah pojok khusus dalam hidup saya,” kata Pram dalam pengantarnya.
Kumpulan naskah dari lima penulis ini, menurut Pram, layak mendapat tempat dalam sejarah sastra dan bahasa Indonesia. Sebab, penggunaan bahasa Melayu/Indonesia dalam tiap narasinya secara tidak langsung memberi sumbangsih terhadap pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia.
Karya-karya seperti “Minggat dari Digul”, Antara Hidup dan Mati”, atau “Buron dari Boven Digul” karya Wiranta, misalnya, menggambarkan perjuangan berat para penulisnya dalam menggunakan bahasa Melayu/Indonesia, yang notabene bukan bahasa ibu mereka.
Satu karya yang tampak menjadi unggulan dalam kumpulan tulisan ini adalah “Pandu Anak Buangan” karya Abdoel Karim. Bagi Pram, karya ini menjadi sangat penting, setidaknya hingga 1945, karena satu-satunya produk sastra yang bertema psikologi.
Dalam tulisan itu Karim menggunakan tokoh Pandu sebagai sudut pandang orang ketiga untuk menceritakan pengalamannya selama menjadi tahanan politik Digul. Karya ini memberikan gambaran mengerikan tentang Digul.
Ancaman penyakit ganas, suku-suku pemangsa manusia, dan terasing dari peradaban adalah puncak ketakutan dari perjalanan penuh marabahaya menuju Digul. Saking ganasnya tempat ini, pemerintah kolonial Belanda jarang memberlakukan hukuman mati pada para tahanan. Mereka dibiarkan disiksa oleh alam.
Buku kumpulan cerita ini dikemas dengan bahasa yang mudah dipahami berkat sentuhan Pram. Beberapa narasi memang sulit dimengerti karena penulisnya belum familiar dengan bahasa Melayu/Indonesia saat itu. Namun buku ini setidaknya telah memberikan pelajaran dan bahan renungan kepada kita tentang perjuangan mencapai kemerdekaan hidup sebagai manusia dan bangsa.
Judul                      : Cerita dari Digul
Penyunting             : Pramoedya Ananta Toer
Tahun                     : 2015
Halaman                 : xxiv + 192
Penerbit                  : Kepustakaan Populer Gramedia