Rabu, 28 November 2012

Timnasku


Goalll…!!! Asuuu…!!! Kon mbaleni meneh pasti koe orak bakal iso.
Itulah kata-kata kurang sopan yang terlontar dari mulutku ketika Andik mencetak gol spektakulernya ke gawang Singapura. Gol yang juga berperan sebagai pemecah kebuntuanku ketika kesal melihat Timnas selalu gagal dalam penyelesaian akhir. Hasil ini tentu menjadi hal positif  ditengah-tengah kesan negatif yang selalu menyelimuti Timnas. Sudah cukup mereka dihujat sana-sini. Jika ingin menghujat maka PSSI-KPSI lah wadah yang tepat. Karena merekalah yang membuat Sepakbola Indonesia seperti saat ini.
Kemenangan ini tentu membuat PSSI kubu Johar Arifin besar kepala dan juga bisa besar-besar yang lainnya. Mereka bisa saja merayakan malam ini dengan berpesta pora bersama kelompok mereka. Ibarat kata orang jatuh cinta, dunia hanyalah milik mereka. Disisi lain barisan sakit hati, KPSI, berusaha mengimbangi citra Timnas dengan melakukan diskusi-diskusi yang menyudutkan Timnas melalui media elektroniknya yang tentunya kita semua sudah familiar dengan stasiun televisi tersebut.
Kini lupakan sejenak PSSI Johar Arifin dan KPSI La Nyala Mataliti….
Saat ini kita harus mensupport Timnas versi AFF!!!

Sabtu, 17 November 2012

Nyantri

Santri, sebuah kata yang selalu menjadi beban dalam diriku dan kawan-kawanku. Beban yang diberikan oleh masyarakat sekaligus beban yang diberikan oleh Tuhan. Di mata masyarakat kami dipandang sebagai makhluk yang paling berakhlak ketimbang remaja seusia kami yang tidak nyantri. Di mata Tuhan, kami diberi tanggungjawab besar untuk mengamalkan segala sesuatu yang telah kami peroleh selama di Pesantren. Padahal untuk bertanggungjawab kepada diri sendiri saja kami belum mampu. Banyak diantara kami yang mondok karena paksaan orangtua, namun pada akhirnya ada yang menjalankan dengan senang hati, meski tidak sedikit pula yang keluar karena tidak kuat merapal kitab-kitab tafsir macam Bulughul Marom dan Ibnu Aqil. 
Beruntunglah bagi orang-orang yang pernah merasakan nyantri sekalipun hanya beberapa bulan. Bagiku menjadi santri itu mempunyai tantangan tersendiri, sebagai contoh saat pertama kali diriku menyambangi Pesantren, kesan yang disampaikan adalah kotor, pengap, nyamuk dan gelap, mungkin wajar saja karena aku tiba di Pesantren saat malam baru berjalan sepertiganya. Dalam samar gelap aku melihat para santri yang tidur di mana saja, ibarat pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, begitupun santri, di mana ada ruang, di situ ada raga yang tepar (kosakata 2012). Mereka tidur ada yang beralaskan sajadah, sarung maupun selimut yang sengaja mereka ambil dari kawannya yang sudah terlelap. Bagi yang sedikit beruntung mereka akan tidur menggunakan tikar maupun kasur tipis.
Hari pertama menjalani kehidupan di habitat yang baru tak ubahnya bagai cerita-cerita dalam sinetron. Pada awalnya diriku merasakan kesedihan yang luar biasa karena jauh dari orangtua dan sanak saudara dan akhirnya muncul rasa penyesalan dalam diri karena kurang berbakti semasa tinggal bersama mereka. Selang beberapa hari intrik-intrik kecil mulai terjadi, ada peralatan mandi yang hilang, ada sandal yang tertukar, handuk yang dipinjam, saling berkata kasar hingga ada uang diantara kami yang hilang. Berhubung kami masih berpredikat sebagai santri pemula semua, kami tidak menaruh kecurigaan satu sama lain. Kami justru bersu’udzon kepada kelas dua dan kelas tiga yang bertempat di lantai dua dan tiga. Disinilah rasa persaudaraan itu mulai terjalin erat meskipun pada akhirnya nanti kami akan saling menikam.
Banyak orang yang berkata bahwa hidup dalam Pesantren adalah agar belajar hidup prihatin. Untuk orang yang berkata seperti itu aku akan berikan nilai 90, mengapa 90? Mengapa tidak 100. Bagiku 90 itu lebih seksi ketimbang angka 100. 90 adalah angka yang mendekati kesempurnaan, sementara 100 adalah nilai yang sempurna. Dan kita semua tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik sang pencipta. Kembali ke jalur pembicaraan mengenai belajar hidup prihatin, itu memang benar adanya. Kami hidup tanpa alat komunikasi, rajin puasa sunah senin-kamis, makan hanya dengan sayur dan gorengan terkadang menahan pula lapar ditengah malam. Meskipun ada Televisi yang disetel setiap malam minggu, tapi itu semua belum menjadi hiburan bagi kawan-kawanku yang kerap kali melompati pagar Pesantren hanya untuk sekedar melihat konser musik di alun-alun kota. Untuk kalimat terakhir, itulah salah satu alasan mengapa santri belum bisa bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri.  
Hidup di Pesantren bukan melulu hanya soal keprihatinan. Selain keprihatinan, kemalasan juga menjadi hal yang lumrah bagi kami. Justru disinilah kami bisa hidup bermalas-malasan tanpa suara Ibu yang selalu memerintahkan untuk berbelanja  di warung, tanpa suara Ayah yang selalu minta dicucikan motornya sehabis pulang kerja dan tentunya tanpa perang saudara dengan adik-adik yang menjengkelkan. Sehingga dengan demikian sikap kemalasan muncul sebagai faktor penyeimbang dalam alam kesantrian seperti halnya faktor yin dan yang dalam ilmu filsafat China. Tidak jarang kami menikmati tidur siang yang sangat panjang dan begitu nikmat, saking nikmatnya hingga ada diantara kami yang baru bangun menjelang isya, bahkan ada yang lebih parah, yaitu baru terjaga saat subuh menjelang, ketika romo kyai sendiri yang membangunkan kami, para santri tidak tahu diri.
Tidak sedikit yang melanjutkan tidurnya kembali, namun juga banyak yang secara sadar mengambil air wudhu dan langsung berangkat ke Masjid yang letaknya bersebelahan dengan asrama Pesantren. Dengan kondisi yang masih terkantuk-kantuk, beberapa santri dengan tekad baja menyeret segenap tubuhnya yang masih digelayuti setan. Jatuh, tersandung, atau bahkan menabrak tembok sudah menjadi sebuah kelaziman. Seusai mengikuti jama’ah sholat subuh, para santri berkumpul di aula untuk mengikuti kajian kitab Bulughul Marom yang diampu oleh romo kyai sendiri. Menjelang matahari terbit kegiatan mengaji usai dan kami bersiap untuk pergi ke sebuah komunitas lainnya yang bernama Sekolah.