Maraknya pengakuisisian klub-klub di negara “mapan sepakbola” oleh
pengusaha-pengusaha yang berasal dari Asia Tenggara kini seolah menjadi tren.
Pengakuisisian tersebut tentunya bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata,
namun esensi yang paling utama dari hal itu adalah bagaimana para pengusaha
tersebut dapat mengangkat harga diri bangsanya sendiri. Mengapa demikian?
Karena berinvestasi disektor olahraga paling populer di dunia semacam sepakbola
dapat menjadi tolak ukur kepercayaan orang-orang Eropa terhadap
pengusaha-pengusaha Asia Tenggara.
Sebelum orang-orang Malaysia seperti Datuk
Chan Tien Ghee dan Tony Fernandes yang masing-masing mengakusisi kepemilikan
Cardiff City dan Queens Park Rangers, kita sudah mengenal Thaksin Sinawathra yang
pernah memiliki klub Juara Premier League musim lalu, Manchester City.
Kompatriot Thaksin di Thailand, Vichai Raksriaksorn juga memiliki klub di
Divisi Championship, Leicester City.
Seperti tidak mau ketinggalan dari
pengusaha-pengusaha negara tetangga, pengusaha- pengusaha Indonesia pun turut
melakukan hal serupa dengan mengakuisisi beberapa klub sepakbola di
negara-negara “mapan sepakbola” seperti Eropa, Australia dan Amerika. Di Eropa
ada Group Bakrie yang telah memiliki klub Divisi II Liga Belgia, CS Vise, tidak
hanya itu, Group Bakrie juga telah mengakuisisi 70 % saham kepemilikan klub
Brisbane Roar yang berlaga di Liga Australia. Sementara itu di Amerika
Serikat kita mengenal Erick Thohir sebagai salah satu pemegang saham klub MLS,
DC United.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah
tindakan yang mereka lakukan dengan mengakuisisi klub-klub di luar negeri
mempunyai dampak positif bagi perkembangan sepakbola Indonesia?. Nampaknya
masih terlalu dini jika kita mengharapkan dampak positifnya bagi perkembangan
sepakbola Indonesia. Keuntungan jangka pendek yang dapat dipetik mungkin hanya
sebatas pengiriman talenta muda Indonesia ke klub-klub tersebut untuk menjalani
trial, dan jika beruntung mereka tentunya dapat menjadi pemain klub
tersebut seperti yang telah dibuktikan oleh Syamsir Alam dkk bersama CS Vise
(Belgia).
Dampak negatif yang dihasilkan tentu saja
ada, para pengusaha yang memiliki klub-klub tersebut tentunya ingin menjaring
pasar baru di tanah kelahirannya. Alhasil negara seperti Indonesia menjadi
pasar potensial untuk menjaring suporter.
Praktisi pembinaan pemain muda asal Amerika
Serikat, Tom Byer, mengkritik keras upaya-upaya yang dilakukan oleh Tony
Fernandes dan Erick Thohir. Menurutnya, kedua orang tersebut lebih baik
menginvestasikan uangnya untuk pembinaan usia dini di negaranya masing-masing.
Namun Byer memahami alasan mereka yang enggan berinvestasi pada pembinaan
pemain usia dini. Selain jauh dari ekspos media, hasil dari investasi
disektor pembinaan pemain muda tidak dapat dinikmati secara instan.
Dari kasus ini kita dapat mempelajari bahwa
hasil instan dari industrialisasi sepakbola masih menjadi prioritas utama para
pengusaha Indonesia dalam menginvestasikan hartanya. Trend ini akan terus
berlanjut apabila tidak ada sikap idealisme pada diri para pengusaha di negeri
kita. Hal ini akan lebih parah bila konflik ditubuh PSSI terus berlarut-larut
tanpa menemukan titik terang sedikitpun.
Jika cermat kita bisa belajar dari Jepang dan
Turki mengenai sistem pembinaan pemain muda di negeri mereka. Jepang kini sudah
mulai memetik hasilnya berkat sistem pembinaan usia dini berjenjang selama
bertahun-tahun lamanya. Hal sama juga dialami oleh negara Turki, saat ini
pemain jepang dan Turki sudah bertebaran di Liga-liga besar di Eropa.