Sabtu, 22 September 2012

Pragmatisme Pengusaha Indonesia

             Maraknya pengakuisisian klub-klub di negara “mapan sepakbola” oleh pengusaha-pengusaha yang berasal dari Asia Tenggara kini seolah menjadi tren. Pengakuisisian tersebut tentunya bukan hanya untuk kepentingan bisnis semata, namun esensi yang paling utama dari hal itu adalah bagaimana para pengusaha tersebut dapat mengangkat harga diri bangsanya sendiri. Mengapa demikian? Karena berinvestasi disektor olahraga paling populer di dunia semacam sepakbola dapat menjadi tolak ukur kepercayaan orang-orang Eropa terhadap pengusaha-pengusaha Asia Tenggara.
Sebelum orang-orang Malaysia seperti Datuk Chan Tien Ghee dan Tony Fernandes yang masing-masing mengakusisi kepemilikan Cardiff City dan Queens Park Rangers, kita sudah mengenal Thaksin Sinawathra yang pernah memiliki klub Juara Premier League musim lalu, Manchester City. Kompatriot Thaksin di Thailand, Vichai Raksriaksorn juga memiliki klub di Divisi Championship, Leicester City.
Seperti tidak mau ketinggalan dari pengusaha-pengusaha negara tetangga, pengusaha- pengusaha Indonesia pun turut melakukan hal serupa dengan mengakuisisi beberapa klub sepakbola di negara-negara “mapan sepakbola” seperti Eropa, Australia dan Amerika. Di Eropa ada Group Bakrie yang telah memiliki klub Divisi II Liga Belgia, CS Vise, tidak hanya itu, Group Bakrie juga telah mengakuisisi 70 % saham kepemilikan klub Brisbane Roar yang berlaga di Liga Australia.  Sementara itu di Amerika Serikat kita mengenal Erick Thohir sebagai salah satu pemegang saham klub MLS, DC United.
Kini yang menjadi pertanyaan adalah apakah tindakan yang mereka lakukan dengan mengakuisisi klub-klub di luar negeri mempunyai dampak positif bagi perkembangan sepakbola Indonesia?. Nampaknya masih terlalu dini jika kita mengharapkan dampak positifnya bagi perkembangan sepakbola Indonesia. Keuntungan jangka pendek yang dapat dipetik mungkin hanya sebatas pengiriman talenta muda Indonesia ke klub-klub tersebut untuk menjalani trial,  dan jika beruntung mereka tentunya dapat menjadi pemain klub tersebut seperti yang telah dibuktikan oleh Syamsir Alam dkk bersama CS Vise (Belgia).
Dampak negatif yang dihasilkan tentu saja ada, para pengusaha yang memiliki klub-klub tersebut tentunya ingin menjaring pasar baru di tanah kelahirannya. Alhasil negara seperti Indonesia menjadi pasar potensial untuk menjaring suporter.
Praktisi pembinaan pemain muda asal Amerika Serikat, Tom Byer, mengkritik keras upaya-upaya yang dilakukan oleh Tony Fernandes dan Erick Thohir. Menurutnya, kedua orang tersebut lebih baik menginvestasikan uangnya untuk pembinaan usia dini di negaranya masing-masing. Namun Byer memahami alasan mereka yang enggan berinvestasi pada pembinaan pemain usia dini.  Selain jauh dari ekspos media, hasil dari investasi disektor pembinaan pemain muda tidak dapat dinikmati secara instan.
Dari kasus ini kita dapat mempelajari bahwa hasil instan dari industrialisasi sepakbola masih menjadi prioritas utama para pengusaha Indonesia dalam menginvestasikan hartanya. Trend ini akan terus berlanjut apabila tidak ada sikap idealisme pada diri para pengusaha di negeri kita. Hal ini akan lebih parah bila konflik ditubuh PSSI terus berlarut-larut tanpa menemukan titik terang sedikitpun.
Jika cermat kita bisa belajar dari Jepang dan Turki mengenai sistem pembinaan pemain muda di negeri mereka. Jepang kini sudah mulai memetik hasilnya berkat sistem pembinaan usia dini berjenjang selama bertahun-tahun lamanya. Hal sama juga dialami oleh negara Turki, saat ini pemain jepang dan Turki sudah bertebaran di Liga-liga besar di Eropa.