Yogyakarta
sebagai sebuah Kerajaan Islam yang eksistensinya masih terjaga sampai saat ini
di dalamnya tersimpan berbagai keanekaragaman. Keanekaragaman itu salah satunya
tercermin dari munculnya kampung-kampung yang dibangun berdasarkan profesi,
etnis ataupun status sosial di masyarakat.
Memasuki
abad ke-20 Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia dihadapkan pada
sejumlah persoalan rumit mengenai pertambahan penduduk, tanah dan lahan
pemukiman dan usaha. Selain itu isu-isu mengenai ledakan penduduk, kemiskinan,
lapangan pekerjaan dan perumahan serta fenomena urbanisasi mulai mengemuka di
Jawa. Isu-isu ini kemudian menjadi sebuah persoalan yang harus dijawab
pemerintah kolonial. Sementara itu politik etis yang diresmikan Ratu Wilhelmina pada 1901 mempunyai beberapa agenda
mendasar terkait dengan masalah pendidikan, emigrasi dan irigasi dan kebijakan
tentang penataan kampung atau kampong
verbeteringen, penanggulangan kesehatan, pendirian lumbung desa, pendirian
bank perkreditan rakyat dan lain sebagainya. Dan beberapa solusi tersebut
dianggap sebagai jalan terbaik untuk menjawab berbagai persoalan yang mengemuka
pada masa itu. Semua itu secara tidak langsung turut melatari perkembangan
kota-kota di Indonesia termasuk Yogyakarta.
Pesatnya
modernisasi, industrialisasi, dan komersialisasi di Yogyakarta menjadi daya
tarik tersendiri bagi masyarakat luar kota dan mengakibatkan terjadinya arus
urbanisasi. Selain itu interaksi yang terjadi dari berbagai lapisan masyarakat
dan etnis semakin menambah plural komposisi masyarakat Yogyakarta. Dengan
semakin pluralnya masyarakat perkotaan di Yogyakarta, maka timbulah
perkampungan homogen yang dihuni oleh etnis tertentu dan masyarakat yang
mempunyai profesi tertentu.
Munculnya Pemukiman Bangsa Eropa
Rumah
bangsa Eropa telah ada sekitar abad 19, tepatnya setelah perang diponegoro.
Pasca perang tersebut kompleks di sekitaran kraton mulai berdiri rumah residen
Belanda, Loji Kebon termasuk juga Vredeburg atau Loji Besar. Pada waktu itu orang-orang Eropa hanya berjumlah 400
jiwa dan bermukim diantara kraton dan Vredeburg.
Sebagian lagi tinggal di timur benteng yang kemudian dikenal dengan sebutan Loji Ketjil, letak lebih tepatnya untuk
saat ini adalah mulai dari kompleks pertokoan buku shopping hingga perempatan gondomanan. Loji Ketjil lainnya terletak di komplek taman pintar.
Perkembangan Pemukiman
Pada
awalnya perkembangan pemukiman di Yogyakarta cenderung memusat pada poros besar
selatan-utara. Seiring berjalannya waktu, lambat laun pemukiman warga tumbuh di
sekitar poros yang melintasi istana dari ujung ke ujung dan alun-alun utara,
jalan malioboro hingga tugu. Pemukiman tersebut dinamakan sesuai dengan profesi
para warga yang sebagian besar mendiaminya.
Kraton
Yogyakarta di kelilingi oleh benteng dan
bangunan yang ada di dalamnya disebut “jero beteng” daerah tersebut meliputi:
Alun-alun utara, Tratag, Pagelaran,
Stingghil, Prabayksa, Kraton Kilen, dan Alun-alun kidul.
Pemukiman
para abdi dalem digolongkan berdasarkan jenis pekerjaannya. Kampung Kemitbumen dihuni oleh para kemitbumi yang bertugas menjaga
kebersihan halaman kraton, kampung Siliran
dihuni oleh para silir yang
bertugas mengurus seluruh lampu kraton, kampung Gamelan dihuni oleh para gamel
yang bertugas menguurusi kuda milik Sultan, kampung Pesindenan dihuni oleh para sinden,
kampung Patehan ditinggali oleh para
abdi dalem yang mengurusi minuman di kraton, kampung Nagan didiami oleh para penabuh gamelan kraton dan yang terakhir
kampung Kauman yang dihuni oleh para
ulama kraton.
Selain
perkampungan yang dihuni oleh para warga yang mempunyai profesi serupa, ada
juga perkampungan tempat tinggal para bangsawan seperti Pakuningratan, Jayakusuman, Ngadikusuman, Panembahan, Mangkubumen, dan
Suryadiningratan.
Adanya
pemukiman “jero beteng” berarti ada pula pemukiman di luar benteng atau “jaba
beteng.” Pemukiman ini dihuni oleh para prajurit kraton, mereka bertempat
tinggal di kampung Bugisan, Surakarsan,
Nyutran, Mantrijeron, Ketanggungan, Prawirataman, Jagokaryan, Daengan,
Patangpuluhan, serta Wirabrajan.
Selain itu ada juga perkampungan orang Madura yang bernama Menduran, dan perkampungan para hamba istana seperti Pajeksan yang ditinggali para jaksa,
kampung Gandekan dihuni oleh para
pesuruh, sedangkan tukang kayu menghuni kampung Dagen, sementara itu para tukang batu menempati kampung Jlagran dan ahli bangunan bermukim di Gowongan.
Pemukiman Bangsa Asing
Selain
di Loji Besar dan Loji Ketjil, bangsa Eropa juga bermukim
di daerah kota baru dan sagan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa bangunan yang
bercorak indies. Selain kawasan pemukiman Eropa, terdapat juga pemukiman bangsa
lainnya seperti Arab dan Cina. Daerah pasar Kranggan
dan Pecinan adalah wilayah yang
dulunya menjadi basis pemukiman etnis Tionghoa, sedangkan bangsa Arab menghuni
wilayah yang dinamakan Sayidan.
Kesimpulan
Munculnya
perkampungan homogen di kota Yogyakarta tentu semakin menambah khasanah
kebudayaan di kota ini. Kampung-kampung yang dihuni oleh para pegawai seprofesi
dan satu kelompok ras tertentu akan menambah rasa kekerabatan diantara mereka
masing-masing. Meski saat ini kampung-kampung tersebut tidak lagi murni
homogen, namun nama-nama perkampungan tersebut tidak ada yang berubah. Bahkan
wilayah-wilayah seperti di Kranggan dan
Kota Baru meninggalkan corak bangunan khas yang siapa saja sudah pasti bisa
menebak siapa mayoritas masyarakat yang bermukim di situ.
Referensi:
M.C. Ricklefs. Sejarah
Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2008.
Abdurrachman
Surjomihardjo. Kota Yogyakarta Tempo
Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930. Depok: Komunitas Bambu. 2008.
Hamid
Algadri. Islam Dan Keturunan Arab.
Bandung: Mizan. 1984.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar