Santri, sebuah kata yang selalu menjadi beban dalam diriku dan
kawan-kawanku. Beban yang diberikan oleh masyarakat sekaligus beban yang
diberikan oleh Tuhan. Di mata masyarakat kami dipandang sebagai makhluk yang
paling berakhlak ketimbang remaja seusia kami yang tidak nyantri. Di mata Tuhan, kami diberi tanggungjawab besar untuk
mengamalkan segala sesuatu yang telah kami peroleh selama di Pesantren. Padahal
untuk bertanggungjawab kepada diri sendiri saja kami belum mampu. Banyak
diantara kami yang mondok karena
paksaan orangtua, namun pada akhirnya ada yang menjalankan dengan senang hati,
meski tidak sedikit pula yang keluar karena tidak kuat merapal kitab-kitab tafsir
macam Bulughul Marom dan Ibnu Aqil.
Beruntunglah
bagi orang-orang yang pernah merasakan nyantri
sekalipun hanya beberapa bulan. Bagiku menjadi santri itu mempunyai tantangan tersendiri, sebagai contoh saat
pertama kali diriku menyambangi Pesantren, kesan yang disampaikan adalah kotor,
pengap, nyamuk dan gelap, mungkin wajar saja karena aku tiba di Pesantren saat
malam baru berjalan sepertiganya. Dalam samar gelap aku melihat para santri yang tidur di mana saja, ibarat
pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, begitupun santri, di mana ada ruang, di situ ada
raga yang tepar (kosakata 2012). Mereka
tidur ada yang beralaskan sajadah, sarung maupun selimut yang sengaja mereka
ambil dari kawannya yang sudah terlelap. Bagi yang sedikit beruntung mereka
akan tidur menggunakan tikar maupun kasur tipis.
Hari pertama
menjalani kehidupan di habitat yang baru tak ubahnya bagai cerita-cerita dalam
sinetron. Pada awalnya diriku merasakan kesedihan yang luar biasa karena jauh
dari orangtua dan sanak saudara dan akhirnya muncul rasa penyesalan dalam diri
karena kurang berbakti semasa tinggal bersama mereka. Selang beberapa hari
intrik-intrik kecil mulai terjadi, ada peralatan mandi yang hilang, ada sandal
yang tertukar, handuk yang dipinjam, saling berkata kasar hingga ada uang diantara
kami yang hilang. Berhubung kami masih berpredikat sebagai santri pemula semua, kami tidak menaruh kecurigaan satu sama lain.
Kami justru bersu’udzon kepada kelas dua dan kelas tiga yang bertempat di
lantai dua dan tiga. Disinilah rasa persaudaraan itu mulai terjalin erat
meskipun pada akhirnya nanti kami akan saling menikam.
Banyak orang
yang berkata bahwa hidup dalam Pesantren adalah agar belajar hidup prihatin.
Untuk orang yang berkata seperti itu aku akan berikan nilai 90, mengapa 90?
Mengapa tidak 100. Bagiku 90 itu lebih seksi ketimbang angka 100. 90 adalah
angka yang mendekati kesempurnaan, sementara 100 adalah nilai yang sempurna.
Dan kita semua tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, kesempurnaan
hanyalah milik sang pencipta. Kembali ke jalur pembicaraan mengenai belajar
hidup prihatin, itu memang benar adanya. Kami hidup tanpa alat komunikasi,
rajin puasa sunah senin-kamis, makan hanya dengan sayur dan gorengan terkadang
menahan pula lapar ditengah malam. Meskipun ada Televisi yang disetel setiap
malam minggu, tapi itu semua belum menjadi hiburan bagi kawan-kawanku yang
kerap kali melompati pagar Pesantren hanya untuk sekedar melihat konser musik
di alun-alun kota. Untuk kalimat terakhir, itulah salah satu alasan mengapa santri belum bisa bertanggungjawab
terhadap dirinya sendiri.
Hidup di
Pesantren bukan melulu hanya soal keprihatinan. Selain keprihatinan, kemalasan
juga menjadi hal yang lumrah bagi kami. Justru disinilah kami bisa hidup
bermalas-malasan tanpa suara Ibu yang selalu memerintahkan untuk
berbelanja di warung, tanpa suara Ayah
yang selalu minta dicucikan motornya sehabis pulang kerja dan tentunya tanpa
perang saudara dengan adik-adik yang menjengkelkan. Sehingga dengan demikian
sikap kemalasan muncul sebagai faktor penyeimbang dalam alam kesantrian seperti halnya faktor yin dan yang dalam ilmu filsafat China. Tidak jarang kami menikmati tidur
siang yang sangat panjang dan begitu nikmat, saking nikmatnya hingga ada
diantara kami yang baru bangun menjelang isya, bahkan ada yang lebih parah,
yaitu baru terjaga saat subuh menjelang, ketika romo kyai sendiri yang
membangunkan kami, para santri tidak
tahu diri.
Tidak
sedikit yang melanjutkan tidurnya kembali, namun juga banyak yang secara sadar
mengambil air wudhu dan langsung berangkat ke Masjid yang letaknya bersebelahan
dengan asrama Pesantren. Dengan kondisi yang masih terkantuk-kantuk, beberapa
santri dengan tekad baja menyeret segenap tubuhnya yang masih digelayuti setan.
Jatuh, tersandung, atau bahkan menabrak tembok sudah menjadi sebuah kelaziman.
Seusai mengikuti jama’ah sholat subuh, para santri
berkumpul di aula untuk mengikuti kajian kitab Bulughul Marom yang diampu oleh
romo kyai sendiri. Menjelang matahari terbit kegiatan mengaji usai dan kami
bersiap untuk pergi ke sebuah komunitas lainnya yang bernama Sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar